Sabtu, 25 April 2009

Sejarah Kekaraengan Mandalle

La Pallawarukka Daeng Mallawa, Regent Mandalle. Wafat tahun 1909. (Sumber lukisan : Maddusila AM)

PADA mulanya kekaraengan Mandalle terbentuk dari peleburan tiga persekutuan hukum adat yang didirikan oleh orang Bugis, yaitu Katena, Mallawa, dan Mandalle. Menurut cerita, yang pertama – tama berdiri ialah Katena yang melingkupi daerah Kampung Boddie, Katena, Manggalung, Macciniajo, dan LokkaE. Arajang dari Katena adalah sebilah bajak (rakkala). Kemudian barulah berdiri persekutuan hukum Mallawa dan persekutuan hukum Mandalle. Dalam Abad XVII, ketiga persekutuan hukum adat itu mengakui kekuasaan tertinggi (souverniteit) dari Kerajaan Gowa. (Benny Syamsuddin, 1985).
Kepala persekutuan Mandalle digelar pada waktu itu Lokmo. Menurut nota Admiral Cornelis Speelman, Tahun 1669, persekutuan – persekutuan hukum adat Katena, Mallawa dan Mandalle, pada waktu itu tidak lagi masuk daerah kekuasaan Gowa, akan tetapi masuk daerah kekuasaan Kerajaan Tanete, keadaan mana berjalan sampai tahun 1824, yaitu sewaktu Belanda menaklukkan Tanete dalam suatu peperangan. Antara Tahun 1824 dan 1829 ketiga persekutuan hukum adat tersebut, menjelma menjadi satu keregent-an (regentschap) dengan nama Mandalle. Yang mula – mula menjadi Kepala Regent di Mandalle ialah Mallewai Daeng Manimbangi, anak dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung (kemudian digelari MatinroE ri Lalengtedong) di daerah Laut, yaitu seorang keturunan dari Raja Tanete dan Luwu. Beliau adalah putera dari Datu Marioriwawo yang bernama La Mauraga Daeng Malliungang (Matinroe ri Mallimongang).
Dalam Lontara’ Bilang (Buku Harian) Raja Gowa dan Tallo’, tercatat bahwa Lokmo Mandalle berangkat dengan tidak lebih dari Sembilan perahu ke Bima dan menaklukkan kerajaan itu. Setelah La Mallewai Daeng Manimbangi wafat (MatinroE ri Kekeang) dalam tahun 1848, maka beliau digantikan oleh puteranya yang bernama La Sumange Rukka Karaeng Kekeang. Dalam tahun 1861, beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama La Pallawarukka Daeng Mallawa. Sewaktu beliau wafat dalam tahun 1909, Keregent-nan Mandalle dihapuskan dan digabungkan dengan Keregent-nan Segeri dengan surat keputusan Gubernoumen tanggal 27 Juni 1910 N0. 34.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada Tahun 1819, Mandalle dicabut dari Keregent-nan Segeri dan dijadikan kembali sebagai kekaraengan yang berdiri sendiri sebagaimana telah dijelaskan di awal. Yang diangkat menjadi Karaeng di Mandalle, menurut surat penetapan Gubernur Celebes dan daerah takluknya tanggal 18 Desember 1819 No. 241/XIX ialah La Dongkang Daeng Massikki yang beristerikan I Tuwo Petta Boddi, puteri dari Regent Mandalle, La Pallawarukka Daeng Mallawa. La Dongkang Daeng Massikki adalah putera dari Kepala Regent Pangkajene, La Djajalangkara Daeng Sitaba, cucu dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung tersebut dari garis keturunan La Mauraga Dg Malliungang Datu Mario ri Wawo Matinroe’ ri Malimongang, Tahun 1801.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Menurut Staatsblad (lembaran Negara No. 352 tahun 1916, ditetapkan Onderfadeeling Pangkajene, terdiri dari lima district adat, yaitu gemeenschap (kekaraengan) Pangkajene, Labakkang, Balocci, Ma’rang dan Segeri. Nanti pada Tahun 1918, atas dasar surat dari “Eeste Gouvneur Sekretaries, 4 Agustus 1917 maka Gouverneur van Celebes en Ondehorigheden (Gubernur Celebes dan daerah takluknya melalui suratnya tanggal 13 Juli 1918, No.124 / XIX memecah wilayah adat gemeenschap Segeri menjadi wilayah adat gemeenschap Segeri dan wilayah adat gemeenschap Mandalle.
Dengan demikian, resmilah Mandalle sebagai salah satu dari tujuh wilayah karaeng adatgemeenschap Onderafdeeling Pangkajene, setelah dua hari sebelumnya juga telah dilakukan pemecahan wilayah adat gemeenschap Pangkajene, ditambah wilayah karaeng adatgemeenschap Bungoro. Kekaraengan Mandalle dalam Tahun 1920 diketahui terdiri atas 15 Kampung (Benny Syamsuddin, 1985), yaitu :
1. Kampung Katena
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
2. Kampung Macciniajo
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
3. Kampung Boddie
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
4. Kampung Malawa
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
5. Kampung Topong
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
6. Kampung Lokkae
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
7. Kampung Manggalung
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
8. Kampung Gallaraja
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
9. Kampung Gallalau
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
10. Kampung Mandalle
(Kepala Kampungnya bergelar Gallarang) ;
11. Kampung Tamarupa
(Kepala Kampungnya bergelar Jennang) ;
12. Kampung Kekeang
(Kepala Kampungnya bergelar Jennang) ;
13. Kampung Mangaracamlompo
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
14. Kampung Mangaracamcaddi
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa)
15. Kampung Lamasa
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa).
Beberapa Karaeng Mandalle yang populer dan masih segar dalam memori masyarakat Mandalle ialah La Dongkang Daeng Massikki (Karaeng Mandalle, 1918) [1], yang kemudian digantikan oleh puteranya, Andi Mandatjingi [2]. Karaeng Andi Mandacingi dikawinkan dengan Tenri Olle, seorang puteri bangsawan dari seorang kerabatnya dari Maros. Kemudian ia menikah lagi dengan Andi Amatullah Sompa Warune, puteri Andi Singkeru Rukka Arung Ujung Soppeng [3]. Dari perkawinan Andi Mandacingi dengan Andi Amatullah Sompa Warune ini menurunkan putera puterinya, yaitu Andi Dharifah Tenri Awaru (1940), Andi Saiful Muluk Tenri Angka (1942), Andi Fahru Pallawa Rukka (1945), Andi Haerul Muluk Sumange Rukka (1947), Andi Nohar Tenri Esa (1950), Andi Ajaib Singkeru Rukka (1956), dan Andi Syafril Hazairin Tappu Rukka (1963). Pada masa menjalankan pemerintahan sebagai Karaeng Mandalle, Andi Mandacingi juga merangkap Ketua Dewan Hadat Pangkajene saat kekaraengan Pangkajene dipegang oleh Andi Burhanuddin, beliau kemudian digantikan oleh adiknya bernama Andi Sakka sebagai Karaeng Mandalle yang terakhir.


Catatan Kaki :
[1] La Dongkang Daeng Massikki ini bersaudara dengan La Mauraga Dg Malliungang dan La Mattotorang Dg Mamangung (keduanya Karaeng Pangkajene). Ketiganya adalah anak dari Karaeng Pangkajene, La Djajalangkara Dg Sitaba, Karaeng Pangkajene, 1873 dari garis keturunan La Pappe Daeng Massikki (Karaeng Pangkajene Matinroe ri TumampuE, 1857/1885) yang juga bersaudara dengan La Mallewai Dg Manimbangi (Karaeng Mandalle, 1829) dari garis keturunan La Abdul Wahab Mattotorangpage Dg Mamangung Karaeng Segeri Karaeng Lau ri Marusu Matinro-E ri Lalengtedong, 1829. (Benny Syamsuddin, 1989 : 36). La Dongkang Dg Masikki berputera puteri 4 orang, yaitu Andi Mandacingi, Tenri Kawari Karaeng Bau, diperisterikan oleh Andi Mappe Dg Massikki Karaeng Lau ri Marusu, Andi Sakka Petta Lolo (Sullewatang Mandalle), dan Andi Enrekang (Petta Enre).
[2] Andi Mandacingi, sebagaimana sepupu satukalinya, Andi Burhanuddin, Karaeng Pangkajene (1942-1946) adalah pejuang dan perintis kemerdekaan RI, beliau berdua adalah pelopor berdirinya Barisan Pemuda Merah Putih (BPMP), organisasi kelaskaran dan kejuangan di Pangkep yang gesit melawan Belanda dan Pasukan Sekutu (NICA). Setelah keduanya tidak aktif lagi sebagai Karaeng Mandalle dan Karaeng Pangkajene mereka diminta sebagai residen diperbantukan di Kantor Gubernur Sulawesi. (Makkulau, 2007).
[3] Andi Amatullah Sompa Warune, yang diperisterikan Andi Mandacingi adalah seorang puteri bangsawan yang terpelajar, lulusan pendidikan HIS di Sengkang sehingga beliau banyak memahami dan membantu suaminya dalam perjuangan kemerdekaan. Andi Amatullah Sompa Warune adalah puteri pasangan Andi Singkeru Rukka Arung Ujung Soppeng dengan Andi Cakkupe puteri dari La tenri Dolong Baso Bila Datu Citta. Tenri Dolong sendiri adalah putera dari La Mattalatta Arung Bila dengan isterinya Datu Walie Petta Bulu Langi. La Mattalatta putera dari Taggamette Datu Citta dengan isterinya I Hindong Arung Bila puteri La Pute Isi. Adapun Tagamette bersaudaranya diantaranya La Patau Datu Tanete adalah putera dari La Maddusila To Pangewa Datu Tanete dengan isterinya Tenri Seno ( I Seno Tenri Bali ) Datu Citta puteri dari La Mappaossang, Mangkaue ri Bone XXII (Raja Bone ke-22). (Sumber : H Maddusila, AM).
Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Sejarah Kekaraengan Balocci

KEKARAENGAN Balocci dikepalai oleh seorang Karaeng, didampingi oleh 9 Kepala Kampung, 5 diantaranya bergelar Karaeng, seorang bergelar Sullewatang dan 3 orang bergelar Gallarang (Benny Syamsuddin, Bulletin KKSS : 1989). Kesembilan kampung dalam wilayah kekaraengan Balocci tersebut ialah Balocci, Padang Tangngaraja, Padang Tangngalau, Bulu – bulu, Birao, Bantimurung, Malaka, Lanne dan Tondongkura. (Makkulau, 2005). Awalnya Lanne dan Tondongkura mengakui kekuasaan Karaeng Labakkang, kemudian kekuasaan Gowa dan Bone. Kedua kampung itu merupakan sebuah persekutuan hukum tersendiri dan mempunyai arajang yang terdiri dari selembar bendera yang dinamai “BolongngE”. (Benny Syamsuddin, Bulletin KKSS : 1989).
Kampung Lanne dan Tondongkura itu merupakan sebuah persekutuan hukum tersendiri. Ketika Labakkang mengakui kekuassan Kerajaan Gowa, Lanne dan Tondongkura menggabungkan diri dalam kekuasaan Kerajaan Bone. Arajangnya terdiri dari selembar bendera dan sebilah kelewang, baru sewaktu ada Controleur ditempatkan di Camba [1], yaitu pada tahun 1862, Lanne dan Tondongkura dimasukkan ke dalam kekuasaan Kekaraengan Balocci. Sementara Kampung Bantimurung dan Malaka didirikan oleh anggota keluarga dari Karaeng Balocci. Yang merupakan Hadat Balocci adalah Galla’ Bulu – Bulu, Galla Padangtangaraja dan Galla Balocci. Arajang dari Balocci terdiri dari selembar petaka merah yang dinamai “Calla’ka” yang berasal dari Gowa. Demikian Notitie Goedhart dan Abdur Razak Dg Patunru mencatatnya. (Benny Syamsuddin, Bulletin KKSS : 1989 dalam Makkulau, 2005).
Sampai penulisan buku ini dalam tahap penyelesaian, tidak didapatkan keterangan atau sumber informasi yang dapat menuturkan perjalanan sejarah kekaraengan Balocci ini, paling tidak mulai dari Karaeng Balocci I sampai Karaeng Balocci VI. Menurut H Andi Muin Dg Mangati, sebelum Karaeng Tinggia (Karaeng Balocci IX) memerintah, yang masih sempat dikenal ialah Karaeng Ammoterang Dg Pabali (Karaeng Balocci VII) dan Daeng Pabeta (Karaeng Balocci VIII). Karaeng Balocci sebelum ketiga karaeng ini sudah tidak terlacak nama, pemerintahan dan tempat wafatnya. Karaeng Ammoterang Dg Pabali dikenal sebagai karaeng Balocci yang selalu membangkang terhadap Pemerintah Belanda dan akhirnya dibuang ke Selayar [2]. Penggantinya adalah saudaranya sendiri, Daeng Pabeta.
Karaeng Tinggia sendiri memerintah sebelum tahun 1881. Karaeng ini digantikan oleh menantunya, Karaeng Pattoddo, oleh karena Karaeng Tinggia ini tidak mempunyai putera, hanya mempunyai anak dua orang puteri, yaitu Karaeng Tompobalang dan Karaeng Basse Donggo. Puteri pertama, Karaeng Tompobalang inilah yang dikawinkan dengan Karaeng Pattoddo (Karaeng Balocci X), yang memerintah selama 30 tahun, dari tahun 1881 – 1911 yang mana pada periode kekuasaannya masih berjalan pemerintahan Bila – Bila Pitue dan Lebbo TengngaE (Camba).
Di masa pemerintahan Karaeng Pattoddo, dia sempat melaporkan Controleur (Petero Pangkajene) karena menebang dan mengambil 40 Pohon Cendana di wilayah Tonasa (Kawasan situs prasejarah Sumpangbita sekarang). Karaeng Pattoddo mengajukan gugatan ke pengadilan dan akhirnya Petero tersebut divonis mengganti kerugian sebesar 1 (satu) ringgit perak per satu pohon. Tiada berselang lama dengan peristiwa terbunuhnya Petero Camba yang berujung pada pembubaran pemerintahan di Camba dan wilayahnya digabungkan dengan Onderafdeeling Maros, termasuk Balocci. Selama kurang lebih 2 (dua) tahun, karena faktor pertimbangan wilayah, Balocci kemudian digabung dengan Onderafdeeling pangkajene.
Karena Controleur Pangkajene masih ada dendam terhadap Karaeng Pattoddo akibat peristiwa ganti rugi penebangan Pohon Cendana di Balocci maka Petero Pangkajene ini mengupayakan agar Karaeng Pattoddo secepatnya diganti yang mana penggantinya diangkat bukan dari keturunannya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memilih dan mengangkat Karaeng Balocci dari kalangan kepala – kepala kampung / gallarang yang dinilai memiliki pengaruh dan kelebihan kepemimpinan dibanding dari yang lainnya, dan akhirnya terpilihlah Gallarang Tondongkura, H A Kadir Dg Matteppo sebagai Karaeng Balocci XI.
Peralihan kekuasaan kekaraengan Balocci dari Karaeng Pattoddo kepada HA Kadir Dg Matteppo ditandai pula peralihan pengendalian pemerintahan kekaraengan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Terhitung mulai Tahun 1916, Balocci dimasukkan sebagai salah satu dari lima district adatgemeenschap (kekaraengan) dalam wilayah Onderafdeeling Pangkajene, yaitu Pangkajene, Balocci, Labakkang, Ma’rang dan Segeri. Hal ini didasarkan pada Recht-gemeenschapen (peraturan – peraturan hukum) Onderafdeeling Pangkajene sebagaimana termuat dalam Staatsblad (lembaran negara) No 352 Tahun 1916.
Pada masa pemerintahan Karaeng Balocci XI, H. A. Kadir Dg Matteppo, mengalami banyak gangguan terhadap pemerintahannya yang dilakukan oleh pengikut dan keluarga dari Karaeng Patoddo, namun berkat kelihaian dan strategi kawin mawin yang dijalankannya akhirnya lambat laun gangguan pemerintahan itu berkurang sampai akhirnya reda dengan sendirinya [3]. Karaeng H A Kadir Dg Mattepo akhirnya dapat memerintah dengan tenang selama 26 tahun, yaitu dari tahun 1911 – 1937. Beliau ini digantikan oleh puteranya dari isteri pertamanya, yaitu H A Rahim Dg Masalle sebagai Karaeng Balocci XII [4].
Periode pemerintahan H A Rahim Dg Masalle merupakan pemerintahan kekaraengan Balocci yang terakhir. Beliau ini memerintah selama 25 tahun, yaitu dari tahun 1937 – 1962. Situasi pemerintahannya mengalami beberapa masa yaitu masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, masa datangnya pasukan sekutu / NICA , masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan masa pemberontakan Kahar Muzakkar (hingga Desember 1951) [5].
Setelah masa kekacauan yang ditimbulkan oleh gerakan DI / TII Pimpinan Kahar Musakkar dapat dipulihkan, maka timbul pula gerakan – gerakan lain yang meronrong pemerintahan kekaraengan Balocci yang dipimpin oleh M Yunus Dg Pasanrang. Namun kekacauan tersebut berakhir dengan sendirinya setelah turunnya restu HA. Mallarangeng Daeng Matutu [6] terhadap M Yunus Dg Pasanrang sebagai Kepala Distrik Balocci, yang selanjutnya menjadi Kepala Wilayah Kecamatan Balocci (Periode 1962 – 1965).

Catatan Kaki :
[1] Controleur Camba ketika itu membawahi tujuh wilayah adatgemeenschap / kekaraengan, yaitu Cenrana, Camba, Laiyya, Mallawa, Balocci, Gattareng Matinggi dan Wanua Waru. (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati)
[2] Menurut H Andi Muin Dg Mangati, Salah satu ‘kenakalan’ Karaeng Ammoterang Dg Pabali adalah tindakannya yang menyuruh pengikutnya untuk mencuri ternak – ternak Belanda kemudian dipenggal kepalanya, dan kepala – kepala ternak Belanda itu ditanam dibawah kolong rumahnya. Akibat tindakannya tersebut memicu kemarahan Belanda karena merasa dipermalukan, mendapati ternaknya mati tanpa kepala di kandangnya. (Wawancara dengan Penulis).
[3] Strategi kawin mawin yang dijalankannya ialah dengan mengawinkan anak / keturunan H. A. Kadir Dg Patteppo dengan anak / keturunan Karaeng Pattoddo. Akibatnya keluarga / pengikut Karaeng Pattoddo merasa bahwa tidak perlu ada lagi yang dikhawatirkan karena penerus kekaraengan tetap masih dalam keturunannya. (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati, 2007).
[4] Karaeng Balocci XI, H.A. Kadir Dg Patteppo memiliki 10 anak dari dua orang isteri. Dari isteri pertamanya, Puang Moncong lahir anak tunggal, yaitu H.A. Rahim Dg Masalle yang kemudian diangkat sebagai Karaeng Balocci XII menggantikan ayahnya. Dari isteri keduanya, A. Abeng Dg Manutte lahir 9 orang anak, yaitu Puang Lae, Puang Minya’, Puang Sau’, Puang Taba, Puang Sohra, Puang Massang, Puang Ngasina, Puang Sompa, dan Puang Ngerang. (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati, 2007).
[5] Pada masa yang terakhir ini, pemerintahan Distrik adatgemeenschap Balocci sempat dipindahkan ke Pangkajene disebabkan kompi dari Batalyon 427 ditarik kembali ke Pangkajene untuk menghadapi pasukan Kahar Musakkar, malahan beredar informasi bahwa pasukan Kahar Musakkar akan menyerang Pos TNI di Balocci. Pada tahun 1954 kembali Kekaraengan adatgemeenschap Balocci dipusatkan kembali di Balocci karena Batalyon 514 berhasil merebut daerah itu dari tangan pasukan Kahar Musakkar. Kesatuan silih berganti dari kesatuan Brawijaya dan pada Tahun 1958 kesatuan Batalyon 715 mengambil alih pengamanan di Balocci. Pada pertengahan 1959, Pos TNI di Balocci diserang secara besar – besaran dengan dipimpin langsung oleh Kahar Musakkar. Ratusan korban yang jatuh di kedua belah pihak. Banyak rakyat Balocci digiring masuk hutan, namun pada akhirnya Batalyon 715 dapat membebaskannya. (Informasi ini sebagaimana yang dituturkan H Andi Muin Dg Mangati kepada penulis, 2007).
[6] H. A. Mallaraengeng Dg Matutu adalah Kepala Daerah / Bupati Pangkep yang pertama (1960 – 1966).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Asal Muasal Nama Balocci

KECAMATAN Balocci ---juga Kecamatan Tondong Tallasa serta sebagian wilayah pegunungan Bungoro--- melengkapi sebutan “Pangkep sebagai Kabupaten Tiga Dimensi” karena wilayah ini merupakan daerah dataran tinggi. Kecamatan Balocci ini terletak di sebelah selatan dan timur Kota Pangkajene, berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Bone. Daerah Balocci ini terkenal dengan potensi pertanian dan perkebunannya, selain potensi kawasan karst dan hutan lindung didalamnya.
Kata “Balocci” secara harfiah diduga berasal dari kata “Ballo Kecci”, yang berarti arak kecut. Dahulu daerah ini merupakan tempat asal para pemberani (to-barani - tobarani) yang mempunyai kebiasaan minum arak (anginung ballo’), sabung ayam (assaung jangang / massaung manu), judi (abbotoro’). Kebiasaan ini adalah kebiasaan umum masyarakat pada masa itu. Tidak disebut seseorang itu pemberani jika tidak melakoni kebiasaan – kebiasaan tersebut diatas. Para pemberani di Balocci itu mendapatkan julukan “Koro – korona Balocci”, karena kebiasaan yang terkenalnya meminum “Ballo Kecci” dan memang ballo’ yang terkenal di Balocci pada masa itu adalah Ballo Kecci. (Wawancara H Andi Muin Dg Mangati)
Pada masa itu berkembang cerita---semacam sumpah---bahwa jika sudah tidak ada “Koro – korona Balocci” di Balocci maka ada tiga hewan yang juga tidak bolah berbunyi di Balocci. Tiga hewan itu ialah tokke’, jala’ dan bukkuru’. Sampai sekarang ketiga hewan ini tidak pernah terdengar di daerah Balocci, malahan menurut penduduk setempat jika mereka ke daerah (kecamatan) lain kemudian mendengar suara tokke’, maka suara tokke’ tersebut seketika akan berhenti jika dikatakan, “nia tau Balocci anrinni”. (Makassar : Ada orang Balocci disini) atau “engka’ to-Balocci koe” (Bugis : Ada orang Balocci disini). (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati).
Versi lain sehubungan dengan cerita ini menurut Dg Palopo ialah jika ada keturunan Tobarani Balocci (Koro-korona Balocci) yang tinggal di luar Balocci kemudian melihat burung jala’ maka burung jala’ tersebut tidak akan berumur lama (paling lambat dua hari setelah dilihat maka burung tersebut sudah mati). Entah benar atau tidak, yang pasti cerita ini telah berkembang menjadi semacam mitos atau legenda tentang Tobarani Balocci, barangkali hal ini berkaitan dengan “pengetahuan tertentu” atau kesaktian yang terwariskan secara turun temurun. (Wawancara penulis dengan M Taufiq S Dg Palopo).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Asal Muasal Nama Labakkang

Rumah Adat Karaeng Labakkang (foto : farid)

LABAKKANG Dewasa Ini merupakan salah satu kecamatan dalam lingkup Kabupaten Pangkep. Pada masa pemerintahan kekaraengan, Labakkang merupakan salah satu wilayah adatgemeenschap dalam wilayah Onderafdeeling Pangkajene, selain Pangkajene, Bungoro, Balocci, Ma’rang, Segeri dan Mandalle. (Benny Syamsuddin : 1989). Kecamatan Labakkang ini, menurut Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe, (Karaeng Labakkang terakhir) adalah bekas tanah kerajaan pada Tahun 937 sampai 1378 dimana rajanya bergelar Somba atau Sombayya. (Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 3).
Kata “Labakkang” (Bahasa Makassar) secara harfiah berasal dari kata ”Labba” yang artinya luas atau lebar. Dalam terminologi bahasa Makassar, aklaba berarti melebarkan. Bisa juga diartikan pelesir atau istirahat. Jadi, arti kata Labakkang yang sesungguhnya ialah suatu tempat yang biasa digunakan untuk istirahat (tempat melepas lelah) ; tempat persinggahan ; atau tempat rekreasi. Dugaan penulis, penamaan ini mengacu kepada luasnya bentangan wilayah pesisir dari ujung utara sampai ke ujung selatan sepanjang pantai baratnya, disamping karena daerah ini banyak dikunjungi pada pendatang dari luar daerah yang akhirnya menetap dan berketurunan disitu.
Sementara Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe, Karaeng Labakkang ke 22 ini mengungkapkan bahwa kata ” Labakkang ” (Bahasa Makassar) berasal dari kata ” A’labba ” yang berarti lebar dan ” A’gang ” yang berarti berteman atau bersatu. Kedua kata ini, menurutnya mengacu kepada Kondisi wilayah Labakkang yang luas / lebar serta karakter masyarakat Labakkang yang suka berteman. Hal ini mendapatkan konfirmasi di lapangan bahwa masyarakat Kecamatan Labakkang dihuni oleh dua etnis mayoritas, yakni etnis Bugis pada bagian timurnya dan etnis Makassar pada bagian baratnya (Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 6).
Kenyataan ini menurut Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe (Karaeng Loloa) karena pada waktu itu Somba Labakkang meminta bantuan orang – orang dari Bone dan Soppeng untuk membuka hutan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam pada bagian timur Labakkang sehingga pendatang Bugis tersebut akhirnya menetap disitu secara turun temurun. Begitu pula halnya dengan kedatangan Orang – orang dari Gowa dan Galesong ke Labakkang bagian barat untuk menetap, membuka hutan dan bercocok tanam dengan persetujuan Somba Labakkang. Pada waktu itu Labakkang sangat terkenal dengan potensi hasil pertaniannya sehingga daerah ini banyak didatangi oleh orang – orang Bugis dan Makassar dari berbagai daerah. Kedua etnis ini hidup rukun dan damai. (Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 6).
Dari sejumlah kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan, hanya tiga kerajaan yang diketahui rajanya bergelar “sombaya” yang berarti raja yang disembah, yaitu hanya Kerajaan Gowa, Kerajaan Bantaeng dan Kerajaan Labakkang. Sampai kira – kira Tahun 1653 Masehi, Kerajaan Labakkang bernama Kerajaan Lombasang. Perubahan nama dari Lombasang menjadi Labakkang menurut Sejarawan Daerah, (alm) Abdur Razak Daeng Patunru adalah atas perintah Sultan Hasanuddin setelah naik takhta dalam tahun 1653 sebagai Raja Gowa ke XVI [1]. Abdur Razak Daeng Patunru dalam tulisannya tersebut tidak menyebutkan alasan Sultan Hasanuddin sehingga merubah nama Lombasang menjadi Labakkang. Diduga perubahan itu didasari atas kesamaan nama Lombasang dengan nama kecil Sultan Hasanuddin, I Mallombasi [2].

Catatan Kaki :
[1] Lihat : Majalah Bingkisan No. 7 Tahun II Terbitan Mei 1969, yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara
[2] Nama lengkap Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI ialah, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, Sultan Hasanuddin.

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Asal Muasal Nama 'Pangkajene'


PANGKAJENE saat ini adalah nama bagi kecamatan yang menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Pangkep (ibukota kabupaten). Kecamatan ini di sebelah selatannya berbatasan dengan Kecamatan Balocci dan Minasatene, sebelah utaranya berbatasan dengan Kecamatan Bungoro, dan sebelah baratnya berbatasan dengan Kecamatan Liukang Tupabbiring.
Luas wilayah kecamatan ini adalah 45,339 km2, terdiri atas bentangan kawasan persawahan, empang, dan wilayah pesisir yang menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya sebagai petani, petambak dan nelayan. Bagian tengah wilayah kecamatan ini membujur sungai pangkajene yang membelah wilayah kota kecamatan daratan Pangkep, sebelah utara sungainya adalah Balocci, Minasatene dan Pangkajene dan sebelah selatan sungainya adalah Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma’rang, Segeri dan Mandalle.
Pada sebelah barat dari ujung sungai Pangkajene tersebut terdapat muara sungai yang bercabang, yang oleh masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan “Appangkai Je’neka”, suatu sebutan umum yang kemudian menjadi nama daerah ini “Pangkajene”. Jika kita berbicara atau menyebut nama “Pangkajene”, maka sesungguhnya kita berbicara atau menyebut sebuah identitas : To Pangkajene, Karaeng Pangkajene, Kota Pangkajene, Pasar Pangkajene, Sungai Pangkajene, Jembatan Pangkajene, Kecamatan Pangkajene dan saat ini “Pangkajene” adalah sebuah identitas bagi ibukota Kabupaten Pangkep.
Kata “Pangkajene” (Bahasa Makassar), berasal dari dua kata yang disatukan, yaitu “Pangka” yang berarti cabang dan “Je’ne” yang berarti air, dinamai demikian karena pada daerah yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Barasa itu, terdapat sungai yang bercabang, yang sekarang dinamai Sungai Pangkajene. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan keterangan yang tegas, sejak kapan nama “Pangkajene” menggantikan nama yang popular sebelumnya, ‘Marana’. Menurut beberapa sumber, awalnya yang dikenal adalah Kampung Marana, dan sungai yang membelah kota Pangkajene sekarang ini dulunya bernama Sungai Marana.
Kampung Marana terletak di sebelah utara sungai tua, sekitar Lembaga Pemasyarakatan lama (sekarang dijadikan tempat Pos Polisi dan Sekretariat Pemuda Pancasila) melebar ke Terminal Kompak, jadi lipat dua kali lebarnya dibanding sungai yang ada sekarang, tepatnya berada di jantung kota Pangkajene sekarang, sedangkan kampung – kampung tua yang ada di sekitar pinggiran sungai sekarang dari timur sampai ke barat antara lain Kampung Sabila, Ujung LoE, Tumampua, Jagong, Purung – Purung, Toli – Toli dan Lomboka, sedangkan bagian utara sungai, yaitu dari Pabundukang, Bone – bone, Kajonga, Palampang, Binanga Polong, Bucinri sampai ke Padede dan Kampung Solo.
Jika kita menelusuri asal muasal pemberian nama – nama kampung yang telah disebutkan diatas---menurut beberapa sumber penulis---hal itu berkaitan erat dengan perebutan hegemoni kekuasaan antara Gowa dan Bone di bekas wilayah Kerajaan Siang dan Barasa (disebut Bundu Pammanakang). Kampung yang disebut Pabundukang itu awalnya adalah sebuah padang yang cukup luas, dimana menjadi tempat pertempuran antara laskar Bone dan Gowa, sedangkan Kampung Sabila diambilkan dari nama bangsawan Bone yang bertempur dan tewas di tempat itu, yaitu Arung Sabila. Begitu pula Kampung Bone-bone, yang pernah dihuni oleh mayoritas orang Bone. (M Taliu, 1997)
Menurut M Taliu (1997), Kampung “Tumampua” (sekarang Kelurahan Tumampua) awalnya adalah kampung yang dihuni mayoritas orang – orang Bone berdarah Siang dengan menggunakan Bahasa Bugis, sedangkan Kampung Jagong (sekarang Kelurahan Jagong) dihuni oleh masyoritas orang – orang Gowa yang menuturkan Bahasa Makassar. Masing – masing hidup berdampingan karena mendapat suaka politik dari sejak masih adanya pengaruh Siang / Barasa sampai Gowa dan Bone silih berganti memperebutkannya untuk dijadikan palili / daerah taklukan, sedangkan Andi Syahrir (mantan Anggota DPRD Pangkep 1999 – 2004) mengurai bahwa Tu-mampua bermakna Orang mampu karena kampong tersebut didirikan oleh La Tenriaji To Senrima, Bangsawan Bone yang sangat kaya [1]. (Wawancara dengan penulis)
Antara Kampung Solo dan Kampung Lomboka, sungai tersebut terbagi dua muaranya karena di depannya terdapat hutan bakau akibat aktifitas erosi, disekitarnya terdapat Kampung Polewali dan Lomboka. Pada percabangan sungai tersebut, dahulunya banyak digunakan sebagai tempat aktifitas perdagangan. Dimana saja ada muara sungai yang bercabang, biasa disebut “Appangkai Je’neka” maka daerah itu akan menjadi ramai. Sekarang tempat dimana terdapat (berdekatan) dengan percabangan sungai tersebut sudah sejak lama ramai karena dijadikan tempat pelelangan ikan. Penduduk setempatnya menyebutnya Lelonga. (M Taliu, 1997)
Dahulu terdapat tiga sungai besar yang mengelilingi Kampung Marana yang menjadikannya tempat strategis transportasi karena berada di persimpangan sungai tua dari Paccelang, sungai tua dari Baru – baru dan sungai tua dari Siang (SengkaE). Ketiga sungai tersebut menjadikan Kampung Marana ramai karena berada di persimpangan cabang sungai (Bahasa Makassar : Pangkana Je’neka) dan di situ pula terjadi pertemuan dalam ikatan janji, baik dalam bentuk persahabatan, memperkuat jalinan kekerabatan maupun untuk kepentingan perdagangan. Pedagang yang akan memasarkan hasil bumi dan dagangannya biasanya mengadakan perjanjian dengan ucapan, “Anjorengpaki sicini ripangkana je’neka” (nanti kita bertemu di cabang air), yang dimaksudkan sesungguhnya tempat yang dituju adalah muara Sungai Marana (sekarang Sungai Pangkajene).

Catatan Kaki :
[1] Menurut Andi Syahrir, yang akrab dipanggil Puang Cali (mantan Anggota DPRD Pangkep 1999 – 2004), menyebutkan bahwa Kampung Tumampua itu didirikan oleh Raja Bone XIV, La Tenriaji To Senrima (saudara dari raja Bone XIII, la Maddaremmeng Matinroe ri Bukaka). (Sumber : A Syahrir, wawancara dengan penulis). Penulis memang mendapatkan keterangan bahwa Raja Bone ini melakukan peperangan terhadap Kerajaan Gowa karena menganggap apa yang dilakukan Gowa dengan serangan militernya ke Bone adalah bentuk penjajahan suatu Negara atas Negara lain, melanggar kedaulatan Kerajaan Bone, meskipun Gowa beralasan bahwa peperangan yang dilakukannya adalah dalam rangka proses pengislaman. La Tenriaji To Senrima tertangkap, ditawan, dan diasingkan ke Siang. (lihat. A. Sultan Kasim, 2002). Pada waktu diasingkan ke Siang inilah, dibuka Kampung yang sampai sekarang masih ada---dinamai “Tumampua”—yang menurut Andi Syahrir berarti orang – orang yang mampu. Pada masa pemerintahan Bupati HM Arsyad B sempat diubah namanya menjadi Padamampu, yang sekali lagi menurut A Syahrir berarti sama – sama mampu (Wawancara dengan penulis). Barangkali penyebutan nama Kampung Tumampua ini menurutnya merujuk kepada bangsawan – bangsawan Bone yang diasingkan di tempat itu adalah orang – orang yang mampu, baik mampu secara materil maupun mampu dalam arti mampu melakukan perlawanan terhadap dominasi Kerajaan Gowa yang pada masa itu berada di puncak keemasannya. Dalam sejarah, hal ini kemudian terbukti karena La Tenriaji To Senrima mampu melarikan diri dari pengasingan dan bangkit lagi melakukan perlawanan sampai kemudian Bone meraih kemerdekaan tidak lama setelah kedatangan Arung Palakka yang bersekutu dengan Belanda menyerang Gowa. Arung Palakka La Tenritatta To Appatunru Daeng Serang Petta Malampeq Gemmekna adalah Raja Bone XV yang diangkat menggantikan La Tenriaji To Senrima (Raja Bone XIV). (Makkulau, 2006). Mengenai asal usul penamaan Kampung Tumampua ini, penulis berpendapat berbeda dengan yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Tumampua bukanlah berarti orang yang mampu, tetapi Tumampua berarti orang yang berasal dari Mampua. (Tu = orang ; Mampua = nama negeri atau kerajaan kecil di Bone). Akhiran “a” diduga menunjukkan tempat, yaitu Mampua. Kata “mampu” dalam arti kaya atau mampu dalam arti yang sebenarnya adalah Bahasa Indonesia, bukanlah berasal dari Bahasa Bugis. Jadi, bukan Tumampu, tapi Tumampua. Sebagaimana dalam Sejarah Bone diketahui bahwa La Tenriaji To Senrima (Raja Bone XIV) yang kalah perang dari gabungan pasukan Gowa – Wajo – Luwu dalam Bunduka ri Pasempe (Bugis : Musu Pasempe, 1646) kemudian diasingkan ke Siang bersama pengikut – pengikutnya yang setia, sebagian besar diantaranya berasal dari Mampua bersama rajanya, Arung Mampu. (Makkulau, 2006 ; lihat pula, A. Sultan Kasim, 2002 : 64 – 67).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Karaeng dan Puang di Masa Kini

KALAU Dahulu orang bertanya, itu anaknya karaeng siapa ?. Ketika disebut bahwa orang tersebut anaknya Karaeng A atau Karaeng B, maka orang langsung hormat dan segan terhadapnya, apalagi kalau orang tuanya tersebut mapparenta (karaeng maggau’). Kini tentu jika pertanyaan yang sama kita ajukan, tentunya jawabannya akan lain, dalam konteks penilaian seseorang terhadap status sosialnya. Status sosial seseorang itu telah tereduksi. Orang kini lebih banyak mempertanyakan status sosial seseorang dalam hubungannya dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, kekayaan dan jabatan yang disandangnya.
Sekarang mana ada orang yang mau memandang dan menghormati seorang ”andi” (anak karaeng) jika hanya berpendidikan rendah, tinggal di rumah yang reot, sehari – hari menghidupi keluarganya dari narik becak dengan penghasilan tidak menentu dan hanya pas – pasan untuk penghidupan sehari - hari, kecuali sedikit orang yang tidak mempermasalahkan status sosial dalam pergaulan hidupnya. Dengan kata lain, hanya sedikit orang yang memandang seseorang itu dalam perspektif agama bahwa tidaklah seseorang lebih mulia atas orang lain kecuali iman dan taqwanya di mata Tuhan.
Reduksi atas status sosial dewasa ini dari kebangsawanan karaeng (Makassar), Arung atau Puang (Bugis) ke jabatan, pangkat dan kedudukan bukan hanya terjadi di Pangkep, tetapi terjadi di hampir semua lapisan masyarakat Bugis Makassar dimanapun berada. Karena saat ini tidak ada lagi raja atau kerajaan. Bukan lagi zaman pemerintahan kerajaan sehingga lambat laun gelaran – gelaran yang berbau feodalistik – aristokratis sudah ditinggalkan. Masyarakat saat ini lebih memperhatikan aspek ’kekalabbirangan’ (keutamaan) itu dari segi pendidikan, pangkat, jabatan atau kedudukan sosial dalam pemerintahan.
Stratifikasi sosial lama hanya mungkin dapat dilihat pada masih bertahannya komunitas tradisional di Sulawesi Selatan dengan pemimpinnya yang begitu dihormati dan disegani, misalnya (Ammatoa) Kajang di Bulukumba, (Matoa) Toani Tolotang di Sidrap, dan (Puang Matoa) Bissu Dewatae di Pangkep tanpa memandang asal usul kekayaan, pangkat dan jabatan. Bahkan pemimpin komunitas kajang, Ammatoa, pernah mengeluarkan suatu ucapan ”yang sangat dahsyat” yang seharusnya membuatnya kita malu mendengarnya. ”Kalau masyarakat Kajang ditakdirkan menjadi kaya, maka sayalah orang terakhir menjadi kaya. Dan kalau masyarakat kajang ditakdirkan menjadi miskin, maka sayalah orang pertama yang menjadi miskin”. Hal yang sama kita lihat dalam perilaku dan kehidupan sehari – hari Puang Matowa, pemimpin komunitas Bissu Dewatae di Pangkep yang sangat sederhana dan bersahaja.

***

Stratifikasi Sosial yang masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Pangkep dan daerah – daerah lainnya di Sulawesi Selatan, khususnya kalangan / keluarga yang memiliki garis keturunan ’bangsawan’ [1] yaitu prinsip ’pemberian gelar atau predikat’ yang disebut ’ambokemmi makpabbati’ (hanya pihak ayahlah yang mewariskan strata sosialnya), artinya strata sosial anak akan menurun dan diperhitungkan menurut strata sosial pihak ayahnya. Berdasarkan konsep tersebut, maka setiap anak yang lahir dari seorang laki – laki bangsawan akan menjadi bangsawan pula, kendati ibunya seorang hamba sahaya. Sebaliknya, semua anak yang lahir dari seorang laki – laki berketurunan orang kebanyakan akan menjadi orang kebanyakan pula, kendati ibunya adalah bangsawan tinggi atau puteri raja sekalipun[2].
Kalau dulu, orang tua pasti akan mengkhawatirkan perilaku sosial anaknya di mata masyarakat, jangan sampai mendapatkan cela dan gunjingan dari masyarakat, apalagi sampai masyarakat mengetahui bahwa yang bersangkutan keturunan “Karaeng” atau “Puang”. Sekarang zaman sudah berubah, adat sudah terlupakan. Orang yang berpendidikan sarjana dan mempunyai banyak harta kekayaan dapat pula ‘terakui’ atau ‘mengakui dirinya’ sebagai keturunan bangsawan (seorang Andi). Dulunya, orang begitu malu dan hormat jika harus bertemu atau berpapasan jalan dengan seorang yang berdarah bangsawan. Sikap hormat ditunjukkan melalui tata krama dan komunikasi yang baik. Pelapisan sosial ketika itu sangat jelas dan kentara, yaitu ada bangsawan tinggi, bangsawan menengah dan bangsawan rendah serta ada kalangan rakyat kebanyakan (to-sama atau to-maradeka) dan ada ata’ (hamba sahaya/kuli/budak atau pembantu) [3].
Saat ini stratifikasi sosial yang berlaku atau yang dipandang dalam masyarakat Bugis Makassar tidak semata mempertahankan "status quo" kelebihan "seorang Andi" atas "seorang yang bukan Andi", melainkan lebih memandang lagi "kekalabbirangan" (kelebihan atau keutamaan) yang lain, seperti : pangkat atau jabatan dalam pemerintahan, harta kekayaan / kepemilikan aset, atau tingkat pendidikan. Seorang yang berpangkat, mempunyai kedudukan yang bagus dalam pemerintahan, terpandang atau dipandang oleh masyarakat, mempunyai relasi sosial dan empati yang tinggi di masyarakat, memiliki aset atau harta yang banyak serta berpendidikan tinggi dapat saja dipanggil puang atau karaeng oleh masyarakat karena kelebihannya itu. Inilah yang penulis maksudkan ’stratifikasi sosial baru’, meskipun sebenarnya hal ini berlaku umum dalam semua masyarakat dimana saja berada.
Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, orang yang secara keturunan "seharusnya" dipanggil puang, karaeng atau andi malahan tidak dipandang di masyarakat. Hal ini karena "faktor keturunan" itu dapat saja sekarang ini dipandang rendah, tidak diperhitungkan atau bahkan diperintah oleh yang bukan puang atau karaeng karena "factor kelebihan lain sebagaimana disebutkan diatas", apalagi bila yang bersangkutan tidak berpendidikan tinggi, jatuh miskin, hanya menjalani pekerjaan kasar atau buruh, tidak mempunyai kedudukan atau berpangkat serta tidak lagi memiliki relasi sosial yang luas. Ini bukan gejala baru, tapi sudah menjadi ’hukum alam’. .
Demikianlah yang terjadi sekarang ini. Perubahan ’status kekaraengan’ tersebut adalah sah – sah saja dan bukan suatu kesalahan dalam hubungan sosial. Bukan lagi hal yang aneh jika terjadi demikian mengingat sekarang pemerintahan dijalankan bukan atas dasar kerajaan. Di beberapa pulau di Pangkep, stratifikasi sosial malahan didasarkan atas kepemilikan modal, dimana yang kuat modalnya --- lazimnya disebut tuan, puang, karaeng, pak haji atau punggawa --- dapat memerintah orang atau nelayan yang tidak kuat modalnya atau hanya menjadi pekerja atau buruh dari usaha perikanan tangkap sang pemilik modal. (rid)

Catatan Kaki :
[1] Bangsawan yang dimaksud disini bukan lagi berarti dia anak raja atau keturunan raja dalam arti formal, tapi lebih kepada mengingat hubungan keturunan dari suatu rumpun keluarga. Dalam sisi tidak demikian, biasa orang berujar “kajili –jili” atau “ero nikana” sebagai suatu sindiran terhadap orang yang selalu membangga – banggakan keturunannya, menyebut – nyebut buyut dan neneknya sebagai bangsawan tinggi di masa lampau. Tentunya lebih parah lagi, kalau penyematan predikat ‘andi’ itu tidak berdasar, misalnya keturunan bangsawan hanya dari pihak orang tua ibu, bukan dari pihak orang tua laki - laki. (Wawancara dengan berbagai sumber, Makkulau, 2006).
[2] Berbeda dari sistem pewarisan strata sosial yang bertumpu pada strata sosial ayah, maka di dalam sistem pewarisan harta benda setiap anak berhak untuk menjadi ahli waris dari kedua pihak orang tua, baik, dari ayah maupun ibunya. (Makkulau, 2007).
[3] Penulis pernah punya seorang teman wartawan yang mengaku nama lengkapnya : Andi Baso Petta Karaeng. “Sudah Andi, Petta, Karaeng lagi”. Penyebutan atau pengakuan nama yang tidak berdasar seperti itu hanya akan mendatangkan gunjingan dan tertawaan orang. Biasa kita dengar orang mengatakan, “riolo andi kamma-kammanne petta”. (Bugis : Andi Wenni Petta Onnang). Ini sebenarnya ucapan yang mengolok-ngolok orang yang mengaku-ngaku berdarah bangsawan. (Makkulau, 2005).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 997967321-6.

Menelusuri Sejarah Kelahiran Pangkep Sebagai Sumbangan bagi Pembangunan Nasional di Daerah

Oleh : H. Syaharuddin Kaseng *)

I. Pendahuluan

Menelusuri sejarah kelahiran suatu daerah atau ibukota suatu daerah mempunyai makna yang cukup penting oleh karena dalam usaha tersebut akan terkait pula usaha untuk mengkaji kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa silam di daerah tersebut, baik aspek sosial, budaya, politik pemerintahan, ekonomi, hukum maupun aspek keamanan pertahanannya.
Dalam mengkaji berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa silam akan muncul sedikitnya dua hal yang berguna untuk menjadi bahan renungan dan menjadi pelajaran bagi kita yang hidup sekarang, yakni :
1. Kelemahan – kelemahan yang dilakukan oleh pelaku – pelaku sejarah tersebut pasa masa silam yang diharapkan tidak akan terulang kembali oleh penentu tonggak sejarah pada masa sekarang.
2. Kekuatan – kekuatan yang dimiliki yang diharapkan dapat diteladani dan dikembangkan selanjutnya bagi sumbangan kita bagi pengembangan nasional.
Peristiwa yang terjadi di ibukota Dati II Pangkep pada saat sekarang ini yaitu Seminar tentang Sejarah Kelahiran Ibukota Pangkep, makin dirasakan urgensinya karena yang memeloporinya adalah kaum muda yang tergabung dalam Pengurus DPD II KNPI Pangkep.
Dari segi pentingnya pembinaan generasi muda yang sedang dipersiapkan untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan bangsa yang sedang dipegang oleh Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66 dengan persiapan yang cukup matang dan dengan penuh tanggung jawab maka usaha mengkaji masa silam penting dilakukan sehubungan dengan tiga hal :
1. Mengkaji sejarah, generasi muda dapat memahami masa sekarang dan dapat mengantisipasi masa depan dengan lebih baik,
2. Menelusuri sejarah dan berkemauan membandingkannya dengan masa sekarang akan memberikan buah pengetahuan tentang siapa pelopor pembaharu setiap keadaan yang jenuh dan pelopor pembebasan dari setiap keterikatan dan keterbelakangan, yaitu tiada lain dari generasi muda.
3. Generasi muda yang kaya pengetahuan tentang sejarah dan mampu membaca situasi sekarang, mereka dapat membuat persiapan lebih baik menghadapi masa depan agar mereka tidak salah langkah, khususnya dalam meneruskan estafet kepemimpinan.
Sehingga, dengan timbulnya kata sepakat nanti tentang Hari Kelahiran Pangkep ini tidak sekedar merupakan acara perayaan rutin melainkan akan menjadi tonggak monumental untuk merenungkan nilai – nilai luhur yang ditinggalkan oleh leluhur kita, baik yang berbentuk materiil maupun non materiil.

II. Upaya Menelusuri Kelahiran Pangkajene

Seperti yang kita ketahui bahwa daerah yang menjadi sorotan seminar adalah salah satu dari 23 kabupaten / kotamadya di Sulawesi Selatan yang berstatus Daerah Tingkat II / Kabupaten, yakni Kabupaten Dati II Pangkajene Kepulauan yang disingkat PANGKEP. Pembentukan Dati II Pangkep bermula pada masa kemerdekaan, yakni dengan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1960 atas dasar UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah – daerah Tingkat II di Sulawesi. Daerah Pangkep pada masa itu merupakan salah satu dari 27 Dati II dalam lingkup Pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan – Tenggara [1].
Kalau peristiwa itu yang akan kita angkat sebagai saat kelahiran Pangkep sebenarnya sudah tidak ada masalah. Akan tetapi dengan menetapkan demikian, rasanya masih ada hal – hal yang perlu dipertanyakan, antara lain :
1. Apakah kota ini sebelum bernama Pangkep tidak perlu dipersoalkan lebih lanjut, yakni pada saat masih bernama Pangkajene. Apakah tidak mempunyai andil dalam perkembangan Pangkep sekarang.
2. Bagaimana dan kapan kejadian daerah ini pada awalnya.
3. Bagaimana hubungan dengan nama lain yang muncul dalam berita dari luar (Daerah Pangkep) tentang nama ’Siang’ yang juga menunjuk daerah ini.
Oleh karena itu saya pun berpendapat bahwa mencari masa awal daerah ini hendaknya kita fokuskan pada usaha mencari awal berdirinya / berperannya ibukota Pangkep sekarang ini yakni pada saat bernama Pangkajene.
Tentang asal usul nama Pangkajene, kapan menjadi nama resmi kota ini merupakan hal yang tidak mudah dilakukan karena Bukti – bukti sejarah belum cukup diketahui. Sampai pada saat ini belum ada buku sejarah yang dapat dipedomani secara lengkap untuk menentukan hal itu. Sejarah tiap daerah di Sulawesi Selatan baru merupakan rencana kerja Balai Kajian Sejarah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Meskipun telah ada yang selesai antara lain tentang Sejarah Daerah Maros, tentang Pangkep belum banyak dilakukan.
Dalam usaha menelusuri dan menetapkan saat kelahiran Kota Pangkajene dan Kepulauan, saya ingin menyarankan tiga pendekatan, yakni :
1. Pendekatan yang berorientasi pada pemberian nama / perubahan nama. Dalam pendekatan ini yang menjadi titik perhatian ialah saat paling awal pemberian nama tersebut, asal usul nama itu, siapa yang memberikan nama tersebut. Pendekatan seperti ini sangat ideal, akan tetapi sangat susah untuk digunakan karena data penunjang biasanya sangat langka. Sumber yang ada biasanya hanya bersifat lisan (narasi tutur) dan pada umumnya terkait dengan mitos yang hidup dan berkembang di masyarakat. Tentang asal usul kata Pangkep masih dapat ditelusuri yaitu berasal dari kata Pangkajene dan Kepulauan karena daerah tersebut merupakan gabungan antara daerah Pangkajene dan daerah kepulauan di sekitarnya. Akan tetapi asal usul kata Pangkajene masih kabur bagi kita.
Menurut informasi yang pernah saya peroleh bahwa kata itu berasal dari kata Bahasa Makassar : ” Pangka ” yang berarti cabang dan ” Je’nek ” yang berarti air, karena di sekitar tempat itu terdapat sungai yang bercabang. Tentang kebenaran informasi itu saya belum dapat memastikannya. Kemudian, kapan nama Pangkajene menggantikan nama yang lebih populer sebelumnya, yakni siang merupakan hal yang belum terungkapkan secara jelas dan belum ditopang oleh fakta sejarah.
2. Pendekatan yang berorientasi pada administrasi pemerintahan dan kebijaksanaan politik.
Setiap daerah senantiasa mengalami perubahan mengenai batas – batas yang disepakati pada saat itu, tentang status serta peranannya dalam menunjang kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah pula. Dalam periode sejarah, pendekatan seperti ini biasanya sudah diterapkan karena setiap perubahan dalam administrasi pemerintahan baik mengenai batas daerahnya, maupun status dan peranannya ada dokumen tertulis / resmi seperti perjanjian atau surat keputusan. Dalam hal menelusuri dan menetapkan saat kelahiran Pangkep sangat mudah dengan menerapkan pendekatan ini. Akan tetapi untuk menelusuri dan menetapkan saat kelahiran Pangkep masih banyak hambatan jika pendekatan ini digunakan kembali kecuali jika orang dapat menyodorkan fakta sejarah berupa dokumen tertulis (perjanjian / kesepakatan atau surat keputusan) tentang hal tersebut.
3. Pendekatan yang berorientasi pada fakta heroisme dan kepeloporan.
Jika pendekatan pertama dan kedua tidak dapat dilakukan karena bukti sejarah kurang menunjang, maka biasanya orang menggunakan pendekatan ketiga, yakni mencari momen yang berarti apakah itu berupa heroisme atau kepeloporan atau suatu perubahan kebijakan yang membawa perbaikan terhadap nasib masyarakat umum. Jika terdapat beberapa momen yang mempunyai arti seperti tersebut diatas, tentu akan dipilih mana yang lebih besar bobotnya bagi perbaikan kepentingan masyarakat banyak pada saat itu dan itulah diajukan untuk disepakati bersama.
Tiga pendekatan tersebut diatas tidak saling menunjang atau saling bertentangan. Kalau kita memakai pendekatan pertama dan kedua, maka pendekatan ketiga dikorbankan dan sebaliknya, jika kita menerapkan pendekatan ketiga maka nilai yang tercantum dalam pendekatan pertama atau kedua dikorbankan.
Untuk menjelaskan diatas, maka baiklah saya mengemukakan hal menyangkut penentuan nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan pada saat sekarang ini masih dalam perselisihan pendapat antara Ujung Pandang dan Makassar. Bagi yang mempertahankan nama Ujung Pandang menurut pemikiran saya, mereka berorientasi pada pendekatan pertama sedangkan yang ingin mengembalikan nya kepada nama Makassar menerapkan orientasi ketiga.

III. Pangkep dalam Lintasan Sejarah

Secara kasar, perjalanan sejarah yang dilalui oleh daerah ini dapat dibagi ke dalam tujuh fase perkembangan. Ketujuh fase tersebut akan saya jelaskan satu persatu dibawah ini.
1. Daerah yang berdaulat penuh ;
Pada saat itu, daerah ini dikenal dengan nama Siang, merupakan kerajaan tua di Sulawesi, bahkan ada yang menganggap bahwa Kerajaan ini lebih tua dari Ussu’ (yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Luwu). Bukan hanya kerajaan tua, tetapi juga daerah kekuasaannya luas.
Kapan berdirinya Kerajaan Siang dan bagaimana perkembangan selanjutnya serta siapa – siapa yang mengendalikan kerajaan itu masih terselubung tabir gelap. Orang memperkirakan bahwa Kerajaan Siang ini bermula pada sebelum Abad XIV dan merupakan cikal bakal Kerajaan – kerajaan di Sulawesi Selatan, disamping Luwu. Tabir kegelapan itu belum dapat disingkap karena kurangnya Sumber – sumber tertulis atau peninggalan purbakala yang dapat meneranginya. Bagi Kerajaan Luwu masih agak baik nasibnya karena masih ada sumber tertulis berupa karya tulis sastra berbentuk ceritera epos yang disebut Sure’ La Galigo.
Keterangan tentang Kerajaan Siang dapat ditelusuri melalui sumber – sumber Portugis. Mungkin karena hambatan penguasaan Bahasa Portugis yang menyebabkan belum dapatnya terungkap tabir kegelapan tersebut. Namun demikian, Titik – titik terang sudah mulai tampak satu persatu karena Orang – orang Perancis yang memiliki bahasa serumpun dengan Bahasa Portugis, dan berdekatan pula daerahnya mulai tertarik meneliti Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, khususnya Daerah Bugis. Salah satu berita tentang Siang dari sumber Portugis ialah kedatangan Antonio de Payva di Siang di sekitar tahun 1543. Ia seorang Portugis dan atas perintah Gubernur Portugis yang berkedudukan di Ternate untuk membeli kayu hitam dan juga menyebarkan agama Nasrani (katolik). Mula – mula ia tiba di Suppa dan berkenalan secara dekat dengan Raja Suppa yang bernama La MakkarawiE dan berhasil mengajaknya masuk Agama Nasrani. Dari Suppa ia menuju Siang dan berhasil pula mengajak Raja Siang masuk Agama Nasrani dan setelah dimandikan (dibaptis), ia diberi nama Don Joan (Don Joao) (Lihat. Darwas Rasyid dalam Peristiwa Tahun Bersejarah Daerah Sulawesi Selatan dari Abad XIV s.d. XIX). Diberitahukan pula dalam sumber tersebut bahwa raja Siang mempunyai hubungan darah dengan raja Gowa.
2. Daerah takluk Gowa (kira – kira tahun 1600) ;
Sejak kapan Siang menjadi daerah takluk Gowa dan cara bagaimana ia menjadi daerah takluk juga belum jelas bagi kita. Ada pendapat bahwa Siang telah menjadi daerah takluk Gowa sejak Raja Gowa Karaeng Tumapa’risika Kallonna (mulai memerintah tahun 1510) dengan cara peperangan.
Kalau demikian berarti sebelum kedatangan orang Portugis yang disebut terdahulu. Kalau benar demikian tentu telah diberitakan juga oleh orang Portugis tentang hal itu dan tentu Raja Siang tidak akan mengambil langkah selanjutnya sebelum menyampaikannya kepada Raja Gowa.
Menurut perkiraan saya, penaklukan Siang oleh Gowa berkaitan erat dengan upaya pengislaman Daerah – daerah Sulawesi Selatan oleh Sultan Gowa dan cara penaklukan Siang bukan dengan peperangan melainkan dengan perkawinan. Belum ditemukan suatu keterangan tentang rombongan penyerangan Gowa ke Kerajaan Siang, tidak seperti halnya penaklukan Soppeng, Bone dan daerah – daerah lainnya. Saya menduga keras bahwa penaklukan Gowa terhadap Siang berlangsung sekitar tahun 1600, yakni pada saat Raja Gowa XIV, I Manggarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna, putera Karaeng Tunijallo atau saudara kandung Karaeng Tunipasulu’. Raja Gowa ini yang pertama masuk Islam. Ia juga yang membuat meriam “anak mangkasara”. Permaisuri Sultan Alauddin adalah I Mainung Daeng Maccini Karaenga ri Bontoa.
Daerah Siang menjadi daerah takluk Gowa berlangsung kira – kira 67 tahun, berakhir pada saat perang Gowa yang melawan Belanda bersama sekutu – sekutunya. Dalam masa ini Siang dijadikan daerah pembuangan tawanan Gowa termasuk diantaranya La Tenriaji To Senrima (adik La Maddaremmeng) yang mulanya diangkat oleh pembesar dan rakyat Bone sebagai raja bayangan terhadap penguasa yang diakui oleh Gowa yakni To Bala sebagai jennang [2] Kerajaan Gowa. Karena dianggap memberontak maka ia diserang oleh Gowa dan sekutunya (Wajo dan Luwu). Mula – mulanya ia bertahan di Pasempe’ tetapi akhirnya kalah dan ditawan dan dibuang ke Siang pada tahun 1646 dan akhirnya wafat disana dan diberi gelar anumerta matinroe’ ri Siang.
3. Daerah Penentang Kekuasaan Sultan Gowa (1667 – 1672) ;
Orang – orang Siang ikut menentang kekuasaan Sultan Hasanuddin pada saat Belanda menyerang Gowa bersama sekutunya. Pada tanggal 27 Juli 1667 Arung Palakka bersama laskar tiba di Binamu (Jeneponto). Di tempat ini ia berhadapan dengan lascar gabungan Gowa dibawah pimpinan Karaeng Lengkese, Karaeng Karunrung, dan Maraddia Balanipa. Dalam menghadapi lawan yang berat ini Arung Palakka dapat menguasai keadaan karena mendapat bala bantuan Siang.
4. Daerah Persekutuan Bone, Suppa, Tanete dibawah taktis Belanda (1672 – 1860) ;
Pada saat Sultan Hasanuddin kalah dalam peperangan melawan Belanda bersama sekutunya termasuk Arung Palakka, Arung Palakka rupanya tidak berambisi menjadi raja baik di Gowa ataupun di Bone sebagai sekutu Belanda yang memperoleh kemenangan tidak menuntut hal demikian, meskipun pada akhirnya pada tahun 1672 atas kemauan para pembesar Kerajaan Bone, ia diangkat sebagai Raja Bone dan ketua persekutuan seluruh raja yang serikat dalam Perjanjian Bungaya. Diangkatnya sebagai Raja Bone karena pada tahun itu juga Raja Bone La Maddaremmeng wafat. Jika tidak wafat pada saat itu tentu juga belum diangkat menjadi raja.
Dalam periode ini pulalah mulai muncul nama Pangkajene serta perannya dalam perkembangan selanjutnya. Peralihan peranan pusat kerajaan dari Siang ke Pangkajene belum jelas bagi kita. Menurut perkiraan saya, disebabkan oleh peralihan pusat orientasi dari Gowa ke Bone sehingga membawa konsekuensi terciptanya poros lalu lintas baru yang menghubungkannya dengan Bone melalui jalur darat. Kita ketahui sebelumnya bahwa pada saat orientasi ke Gowa, jalan utama adalah melalui jalur laut untuk tiba di Siang dan begitu pula sebaliknya.
Periode ini berakhir pada tahun 1860, yakni setelah Singkeruk Rukka Arung Palakka menjadi Raja Bone dan menandatangani kontrak politik dengan Belanda, Letnan Jenderal van Swieten, Gubernur Sulawesi yang menetapkan bahwa Bone yang dahulunya menjadi sekutu Belanda diubah menjadi negeri pinjaman. Raja Bone, Singkeruk Rukka dianggap sebagai raja pinjaman (leenvorst) saja dari Belanda, sehingga kekuasaannya sangat terbatas.
5. Daerah Federasi Gowa bersama Belanda (1860 – 1894).
Periode ini mulai setelah Raja Bone Besse Kajuara yang menentang Belanda menyingkir ke Sawitto dan benda – benda arajang Bone jatuh kepada Belanda dan karena itu Kerajaan Bone dianggap menjadi milik Gubernur Belanda. Akan tetapi kemudian Belanda mengangkat seorang raja pinjaman yang memang sejak lama banyak membantu Belanda yakni Singkeruk Rukka Arung Palakka. Dengan demikian, persekutuan Bone dengan kerajaan lainnya termasuk Pangkajene berakhir dan menjadi daerah federasi Kerajaan Gowa dibawah taktis Belanda. Keadaan ini berakhir pada tahun 1894 yaitu pada waktu Sultan Gowa, Muhammad Idris Ibnu Abdul Kadir Aididin membuat perjanjian baru dengan Belanda yang sangat merugikan Gowa. Perjanjian itu ditanda tangani pada tanggal 26 Oktober 1894 di depan Gubernur Jenderal Hindia Belanda C. H. W. Van Wijk. Isinya antara lain :
- Gowa dinyatakan sebagai bahagian dari wilayah Hindia Belanda dan ditempatkan dibawah Gubernemen Hindia Belanda dan karena itu Gowa harus mengakui kekuasaan dan pemerintahan Raja Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal sebagai raja yang sah ;
- Wilayah Kerajaan Gowa dibatasi sebelah utara onderafdeeling Tello Parangloe, dan Maros, sebelah timur : Onderafdeeling Balangnipa, sebelah selatan : Onderafdeeling Bulukumba, Bantaeng dan Binamu, sebelah barat daya : Onderafdeeling Bangkala dan Takalar.
6. Daerah dibawah Kekuasaan Langsung Hindia Belanda (1894 – Zaman Pergerakan Kemerdekaan)
Sebagai akibat penandatanganan perjanjian Sultan Gowa dengan Pemerintah Hindia Belanda, terdapat dua corak pemerintahan di daerah – daerah Sulawesi Selatan, terutama bekas daerah persekutuan Bone dan Federasi Gowa, yakni :
- Daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda dan diberinya status onderafdeeling seperti : Balangnipa, Bikeru, Bulukumba, Bantaeng, Binamu, Bangkala, Takalar, Tallo - Parangloe, Selayar, Maros dan Pangkajene. Penguasa lokal yang banyak terdapat di dalam lingkungan setiap onderafdeeling itu disebut Karaeng, Arung, Opu, dan lain – lain adalah merupakan raja – raja yang tidak bermahkota (onttroonde vorsten) dan daerahnya disebut Regent.
- Daerah yang tidak langsung dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dianggap sebagai anggota persekutuan atau negeri sahabat berdasar Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya dan pembaharuannya). Daerah – daerah tersebut adalah Gowa, Bone, Luwu, Tanah Mandar, Wajo, Soppeng, Sawitto, Maiwa, Enrekang, Kassa, Malua, Bonto Batu, dan Alla. Daerah ini disebut “Zelfbestuurende Landschappen ”.
7. Periode Pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda
Periode pemberontakan melawan kekuasaan Belanda di daerah Pangkajene dan sekitarnya telah timbul sejak pertengahan abad XIX dengan pelopor – pelopornya antara lain :
- La Sameggu Daeng Kalebbu di Botto (Segeri) dari tahun 1844 –1855 ;
- La Maruddani Karaeng Bonto – Bonto (1875 – 1885),
Kemudian pada zaman pergerakan kemerdekaan, heroisme tersebut dilanjutkan oleh pejuang yang berasal dari daerah Pangkajene seperti Andi Burhanuddin, Andi Mappe, Andi Mandacingi, dan lain – lain.

IV. Mencari Saat Yang Paling Tepat Dijadikan Hari Lahir Pangkajene

Seperti yang telah disinggung di depan bahwa Kota Pangkajene mulai dikenal dan mempunyai peranan pada saat daerah ini menjadi anggota persekutuan Bone, Tanete, dan Suppa dibawah taktis Hindia Belanda. Tepatnya, sekitar menjelang permulaan kekuasaan Inggris yang menggantikan kekuasaan Belanda di Nusantara kita ini, yakni sekitar tahun 1809 – 1810.
Peranan Pangkajene diperkuat oleh situasi peperangan pada beberapa tahun kemudian antara Bone dan sekutunya, Tanete dan Suppa yang berlokasi di Maros dan sekitarnya, termasuk daerah Kalibone melawan tentara Inggris yang berlangsung cukup lama yakni sampai tahun 1816 (saat berakhirnya kekuasaan Inggris di Nusantara).
Pada sekitar tahun itu pula (1809) muncul gerakan perjuangan rakyat di Segeri dan Labakkang terhadap Pemerintah Hindia Belanda, yang tidak mengakui lagi adanya pajak hasil panen sebesar 10 % yang harus diserahkan kepada Belanda (dikenal dengan nama pajak Verdiening).
Jika kita tidak dapat menemukan saat kelahiran Pangkajene (maksudnya Pangkep, penyunting) dengan memakai pendekatan pertama dan kedua, maka sewajarnyalah kita memilih pendekatan ketiga. Dan momen yang paling tepat untuk dijadikan titik tolak perjalanan Sejarah Pangkajene adalah saat munculnya gerakan rakyat menentang Belanda dengan kebijakan yang memberatkan rakyat tadi, yakni tahun 1809.
Meskipun gerakan Rakyat ini mendapat protes dari Belanda, tetapi hal itu tidak diperdulikan oleh rakyat sampai kekuasaan Belanda diambil alih oleh Inggris. Jika kita tidak dapat menemukan tanggal yang pasti tentang gerakan rakyat tersebut, saya akan mengusulkan satu tanggal yang mempunyai nilai historis yang cukup penting yakni Tanggal 30 Mei, yakni tanggal penyerangan La Sameggu Daeng Kalebbu ke pusat pemerintahan Belanda di Segeri yang menyebabkan gugurnya Baron T Collot d’Escury dan seluruh bangunan Pemerintah Belanda di Segeri dibakar habis.

V. Kesimpulan

Setelah meneliti dan menelusuri secara kasar Sejarah Perkembangan Pangkep dan setelah memperhatikan beberapa hal yang menyangkut upaya penetapan Hari Kelahiran Pangkep maka melalui kertas karya yang diberikan dalam seminar yang terhormat ini, penulis mengusulkan agar tanggal 30 Mei 1809 dijadikan sebagai Hari Kelahiran Pangkep dengan pertimbangan yang telah diajukan terdahulu.

Pangkep, 27 April 1985

(* H. Syahruddin Kaseng adalah Tokoh Pendidikan Sul-sel. Pernah Menjabat Rektor IKIP Ujungpandang (sekarang UNM, Makassar). Materi Makalah ini dibawakannya pada Seminar Hari Kelahiran Pangkep, yang diselenggarakan oleh DPD II KNPI Pangkep, di Pangkajene Tanggal 26 – 27 April 1986. Dibuat baru, diedit dan diberi catatan kaki oleh M. Farid W Makkulau atas permintaan Pemkab Pangkep (2008).

Catatan Kaki :
[1] Pada masa itu Sulawesi Tenggara masih terintegral dengan daerah Sulawesi Selatan sebagai satu kesatuan wilayah pemerintahan.
[2] Jennang dapat diartikan sebagai wakil pemerintahan yang ditempatkan berkuasa di suatu daerah yang dianggapnya sebagai bawahan

Kemilau Emas Pangkep Masa Lampau dan Masa Kini

DALAM Sebuah diskusi terbatas sejarah bertema ”Menyusuri jejak sejarah Kerajaan Siang” yang dihadiri Ketua – ketua Jurusan Sejarah seluruh Indonesia beserta puluhan mahasiswa jurusan sejarah yang ikut serta rekreasi di Taman Suaka Purbakala Sumpangbita – Balocci tahun 2008 lalu , saya yang menjadi pemateri ---- meskipun sebenarnya belum pantas menjadi pemateri ---- bersama HM Taliu, BA (salah seorang budayawan daerah ini). Saat itu saya menantang (lebih tepatnya memohon) para dosen, guru besar, dan mahasiswa sejarah yang hadir tersebut agar lebih memperhatikan Pangkep. Tepatnya lebih banyak memusatkan konsentrasi dan wilayah penelitiannya di Pangkep sebagai daerah potensial kajian dan penelitian sejarah. Setidaknya ada lima pointer yang saya kemukakan, yang juga merupakan ’tantangan dan peluang besar’ penelitian sekaligus renungan bagi kita semua. Kelima pointer yang saya kemukakan tersebut, yaitu :
Pertama, Saya kemukakan bahwa beberapa waktu lalu, Pemkab Pangkep mengumumkan telah ditemukannya sumber emas di daerah Tondong Tallasa. Bahkan saat ini sudah dalam tahap eksplorasi, selain minyak di Blok Segeri dan Blok Sepanjang, Liukang Tangaya. [Untuk penemuan sumber emas, hal ini merupakan penemuan baru dari fakta lama]. Dari beberapa sumber tertulis sejarah daerah ini yang diperoleh dari catatan para pelaut Portugis saat menyinggahi Pelabuhan Kerajaan Siang. Dalam laporan Antonio de Payva saat mengunjungi Siang, dalam dua kali kedatangannya, 1542 dan 1544 disebutkan bahwa salah satu alasan mengapa pelabuhan Siang ramai dikunjungi para pedagang Portugis yang mengikuti rute pelayaran Orang – orang Melayu (dari Johor, Malaka, Minangkabau, bahkan dari Patani) ke nusantara bagian timur adalah karena Siang kaya dengan berbagai hasil hutan, pertanian, peternakan dan sumber emas. Jadi, penemuan sumber emas ini ada konfirmasinya dalam sejarah.
Lalu, jika kita membaca buku ” Salokoa - Mahkota Kerajaan Gowa ” karya M Masrury, dkk, Editor : Aminah Pabittei yang diterbitkan Bagian Proyek Pembinaan Permeseuman Sulawesi Selatan (1996 / 1997) disebutkan bahwa salah satu dugaan sumber pengambilan emas yang terdapat pada mahkota Raja Gowa, Salokoa, adalah berasal dari Siang (Pangkep), bahkan penulisnya lebih merinci lagi bahwa Pangkep masa lampau bukan hanya kaya dengan sumber emas, tapi penduduknya sangat ahli sebagai pengrajin emas. Dugaan lainnya bahwa mahkota Salokoa dahulunya adalah milik Somba Lombasang tetapi setelah Lombasang dijadikan bawahan Gowa dan diganti namanya menjadi Labakkang, maka mahkota Salokoa itu pun diboyong ke Gowa. Jadi, penemuan sumber emas di Pangkep sekarang ini menegaskan kepada kita bahwa sejarah telah sampai kepada kita lewat fakta baru yang menggembirakan. Penemuan sumber emas sekarang ini seharusnya memancing perhatian kita akan masa lampau Pangkep yang kemilau --- yang seharusnya menantang para peneliti sejarah untuk lebih memperhatikan kemilau Pangkep masa kuna Kerajaan Siang [1]. Perdagangan kayu cendana (sandalwood) dan emas bukan lagi perdagangan biasa, saat kita disuguhkan data dari catatan perjalanan Portugis lainnya, Manuel Pinto, bahwa jumlah penduduk Siang ketika itu sekitar 40.000 jiwa dan penguasa Siang sangat yakin terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang dimilikinya sehingga dia menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka [2] paska Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511) di Bagian barat kepulauan nusantara.
Kedua, Saya memohon kepada Bapak Ibu Guru Besar, Dosen dan Peneliti sejarah, karena ini dari seluruh Indonesia, saya mewakili generasi muda Pangkep memohon kepada bapak ibu yang hadir disini agar kami dibantu. Kami kehilangan salah satu benda peninggalan sejarah terpenting daerah ini, yaitu topeng emas dari situs Matojeng. Disini, pada masa pemerintahan Bupati (Kol) Hasan Sammana (1979 - 1984), pernah ada permintaan dari Panitia Pameran Sejarah Budaya di Jakarta untuk memamerkan semua peninggalan sejarah budaya Sulawesi Selatan. Waktu itu, mereka minta Nekara dari Selayar tapi tidak dikasih, Salokoa dari Gowa juga diminta tapi juga tidak dikasih, semua daerah di Sulawesi Selatan dimintai untuk menghadirkan benda – benda peninggalan sejarah budayanya. Ketika itu diminta topeng emas situs Matojeng dari Pangkep, dan mungkin karena kita ini orang baik – baik, percaya begitu saja dan berbaik sangka sama orang, maka pihak pemerintah daerah ketika itu langsung menyetujuinya. Dan alhasil, sampai sekarang, sampai hari ini, topeng emas dari situs Matojeng, peninggalan sejarah budaya terpenting [3] daerah ini tidak kembali - kembali.
Sebagai generasi muda Pangkep, saya sendiri sekarang tidak tahu harus menyalahkan siapa. Barangkali diantara bapak ibu yang hadir disini sekembalinya di tempatnya masing – masing ada yang mengetahui keberadaan benda peninggalan sejarah tersebut dapat menghubungi Pemkab Pangkep atau Dinas Pariwisata dan Budaya daerah ini.
Ketiga, Beberapa waktu lalu saya membaca berita penyelenggaraan Seminar Nasional Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan di PKP UNHAS. Hasil seminar tersebut selain layak diragukan, sebagaimana keraguan para sejarawan itu sendiri yang hadir karena masalah penentuan masuknya islam di Sulawesi Selatan yang tidak kunjung usai dan menemui debat panjang, sehingga direkomendasikan seminar ulang. Keraguan para peserta seminar itu karena masalah penentuan masuknya islam di Sulawesi Selatan yang melulu terpaku pada islamisasi Kerajaan Gowa (1667), yang ditandai dengan shalat jum’at pertama di Masjid Katangka, yang juga merupakan momen pemberian nama islam kepada Raja dan Mangkubumi Gowa, Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah awwalul Islam. Islamisasi Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar) inilah juga yang dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kota Makassar. Sepengetahuan saya yang awam sejarah ini, tidak mungkin Buton lebih dulu menerima Islam dari Makassar sedangkan fakta sejarah menyuguhkan kepada kita bahwa Orang Bugis Makassar yang membawa Islam ke Buton. Bagaimana pula para pemerhati, dosen dan peneliti sejarah lupa akan fakta sejarah yang penting, sebagaimana ditulis Abidin, Pelras, Mattulada, Andaya, Noorduyn serta hasil – hasil penelitian sejarah dan arkeologi mutakhir.
Dalam catatan Portugis, saat kedatangan Antonio de Payva di Siang (1542 dan 1544), selain untuk kepentingan ekonomi perdagangan, dia juga datang untuk menyebarkan kristianisme di Siang. Namun saat kedatangannya tersebut ia terkejut menyaksikan pemandangan yang sangat indah, yaitu permukiman pedagang melayu muslim di sepanjang pesisir pantai barat Siang. Dia malahan mendapat informasi mengenai keberadaan komunitas Melayu itu telah bermukim puluhan tahun, bahkan sudah hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Sampai saat ini jejak budaya dan warisan bahasa melayu itu masih hidup sampai sekarang. Mereka tidak mau kehilangan panggilan khas, ’Enci’ yang berarti paman dalam Bahasa Melayu. Sebutan ini mendapatkan penyesuaian bahasa yang sangat khas, yaitu ”Ince” atau ”Unda”. Ini berarti bahwa Siang (Pangkep) lebih dulu menerima Islam. Ketika Siang tidak strategis lagi secara ekonomi karena pengendapan dan pendangkalan pelabuhannya selama 800 tahun, fungsi tersebut telah diambil alih Pelabuhan Sombaopu di sebelah selatannya. Siang kemudian dengan mudah dijadikan daerah bawahan Gowa. Kejatuhan Siang, memberi Gowa tenaga pakar bidang pertanian padi sawah, kayu, besi dan ahli emas (yang sebagian besar orang Melayu). Di belakang hari, tenaga – tenaga ahli dari Siang inilah yang dimanfaatkan Gowa dalam membangun benteng – benteng pertahanan dan memajukan sektor ekonomi pertaniannya bahkan Gowa membuka Kampung Mangallekana sebagai kampung khusus komunitas Melayu di Gowa. Dalam sejarah Gowa, kita juga mengenal Ince Amin (seorang Melayu) yang mendapatkan kedudukan sangat terhormat sebagai sekretaris Sultan Hasanuddin dan penulis syair Perang Makassar.
Keempat, Masalah Pembagian wilayah bahasa (etno-linguistik) yang selama ini dipakai dan dijadikan rujukan penulisan sejarah, kebudayaan dan penelitian bahasa daerah barangkali perlu direvisi dan dikaji ulang. Karena hal itu tidak cocok dengan fakta sosial masyarakat Pangkep. Daerah – daerah atas seperti Gowa, Takalar, Jeneponto, dan seterusnya dimasukkan dalam daerah – daerah etnis - bahasa Makassar, sedangkan daerah – daerah bawah mulai Barru, Pare-Pare, Sidrap, Bone, Soppeng (terkecuali Toraja) dimasukkan ke dalam Daerah etnis - bahasa Bugis. Untuk Pangkep dan Maros disebutkan sebagai daerah peralihan, yaitu daerah etnis - bahasa Bugis dan Makassar sekaligus. Pembagian wilayah bahasa seperti terlalu sederhana dan tidak mendalam dari segi penelitian kebahasaan dan kesejarahan, apalagi dengan adanya sub etnis tertentu pada beberapa daerah tertentu. Di forum yang berbahagia, saya ingin menyatakan bahwa Pangkep bukanlah daerah Bugis Makassar. Ini barangkali betul kalau hanya dilihat aspek daratannya, tanpa jika melihat pulau – pulaunya. Pangkep adalah daerah ragam budaya dan bahasa (multi-kultur, multi etnis dan multi lingua). Di daerah ini, selain daratannya, terdapat sebanyak 112 pulau berpenghuni dengan etnis dan bahasa Mandar serta sedikit Bajoe’ pada beberapa pulau di Liukang Tangaya. Karena itu, kami juga sangat mengharapkan dan memohon bantuan bapak – ibu yang hadir, termasuk mahasiswanya disini untuk menjadikan pulau sebagai konsentrasi penelitian budaya dan kebahasaan yang majemuk, unik dan langka tersebut. Di Pulau akan kita temukan keunikan bahasa yang Makassar tapi bukan Makassar, yang Bugis tanpa bukan Bugis betulan. Beberapa peneliti bahasa menggolongkannya dalam Bahasa Konjo Pesisir.
Kelima, Saat surfing di internet beberapa waktu lalu, saya termasuk penggemar situs wikipedia Ensiklopedia berbahasa Indonesia dan melayu yang paling banyak dikunjungi pelajar, mahasiswa sampai dosen di seluruh Indonesia. Jika kita Search di Google atau Yahoo mengenai Daftar Kerajaan di Indonesia maka salah satu situs yang muncul adalah situs Wikipedia yang menyajikan data bahwa di Indonesia ini, terdapat sekitar 400 kerajaan yang pernah hidup, berkembang dan mengalami pasang surut masa pertumbuhan serta masa keemasan. Namun sayangnya, dari ratusan kerajaan tersebut tidak satupun disebutkan adanya Kerajaan Siang di Pangkep (Sulawesi Selatan), padahal kerajaan ini diakui Kerajaan Makassar pertama di semenanjung barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa – Tallo dan Kerajaan Ussu (Luwu) sebagai Kerajaan Bugis pertama di semenanjung timur Sulawesi Selatan[4]. Karena itu lewat forum yang berbahagia ini, saya mengusulkan alangkah fairnya jika ada pengakuan dari dunia perguruan tinggi mengenai salah satu bagian terpenting dari perjalanan Sejarah Sulawesi Selatan. Barangkali kita bisa mengawalinya lewat penyelenggaraan pra seminar sebelum Seminar Nasional, sehingga nantinya juga ada pengakuan secara nasional.
Pangkep masa lampau berkilauan emas dan telah menggoreskan catatan tinta emas dalam sejarahnya. Jika kita tarik benang merahnya dengan apa yang seharusnya kita lakukan, adalah berbuat lebih baik untuk kembali menorehkan catatan penting dalam goresan sejarah. Daerah ini potensi sumber daya alamnya melimpah ruah, di laut (kepulauan) dan di pegunungan. Pengelolaannya pun memerlukan kearifan budaya. Tenggelamnya kebesaran nama Siang tidak seharusnya membuat kita berkecil hati karena sejarah baru pasti akan tergoreskan, bahkan mungkin akan lebih kemilau jika kita kembali menengok satu bagian catatan sejarah terpenting, yaitu konsensus lokal antara raja Gowa dan Bone di Abad XVI yang ketika itu kedua kerajaan ini boleh dikata menikmati masa keemasan sebagai penguasa di semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan (menggantikan Siang dan Luwu) sehingga Perjanjian yang disepakati keduanya (Ulu Ada’) dapat dianggap mewakili seluruh kerajaan yang ada sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan yaitu perjanjian bahwa jika keduanya menemukan jalan hidup lebih baik maka yang satu memberi tahukan yang lain. Dan ternyata sejarah kemudian membuktikan jalan hidup yang dinanti itu adalah Islam [5].
Terlepas dari strategi politik – kekuasaan Gowa – Tallo di masa lalu dengan menjadikan Islam sebagai alasan perang. Islam sebenarnya adalah amanah sejarah dan amanat tu-riolo Bugis Makassar. Islam datang ke Sulawesi Selatan melalui pintu perdagangan dan politik sekaligus. Kedatangan Datu Tallua secara ajaib juga adalah amanah pelaut dan perantau Bugis yang menginformasikan tentang kampung halaman yang ditinggalkannya. Fakta sejarah ini tidak terbantahkan karena Bugis Makassar masa lampau telah lama masuk dalam jaringan perdagangan interinsuler dan punya koneksi yang luas dengan daerah – daerah lainnya di nusantara ini. Lewat Islam pula, kita berharap, kemilau Pangkep dan bahkan kemilau Sulawesi Selatan ---kini dan yang akan datang--- akan muncul ke permukaan. (rid)

Catatan Kaki :
[1] Dengan fakta, terasosiasinya obyek – obyek emas dan keramik – keramik kuna di teritori Siang memberi keyakinan bahwa Siang mempunyai sejarah yang tua, sejak abad XIV atau paling belakangan pada abad XV, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga politik sebelum menaiknya Gowa dalam pentas sejarah Sulawesi Selatan. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa mungkin Siang mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar). Lihat. Fadillah et. al, 2000 : 100.
[2] Lihat. Pelras, 1973 : 53, Abidin, 1973, Pelras, 1981, Ferrand, 1913-4, Andaya, 1981, Fadillah, et.al, 2000.
[3] Topeng emas dari Situs Matojeng ini saya katakan sangat penting bukan hanya karena pernah disinggung Nugroho Nutosusanto, et. Al (1992) dalam Sejarah Nasional Indonesia 1 – 3 (untuk SLTA) namun juga mengabarkan kepada kita tentang kepercayaan kuna masyarakat Pangkep masa lampau terkait praktek penguburan dan arah hadapnya.
[4] Lihat. Andaya, 1981, Pelras, 1973, dan banyak lagi sumber lainnya.
[5] Perjanjian Ulu Ada’ ini pulalah yang dijadikan dasar oleh Gowa untuk memerangi seluruh kerajaan dan negeri yang tidak mau takluk kepadanya. Perang dan penaklukan yang dilancarkannya disebut ’Musu Sellenge’ atau ’Musu Kasallangang’ (Perang Pengislaman). Oleh Bone, alasan Perang Gowa ini dikatakan sebagai alasan saja untuk menutupi maksudnya untuk menjadi penguasa seluruh semenanjung karena jauh sebelum islamisasi Gowa-Tallo, peperangan antara Bone dan Gowa sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Raja Bone La Tenrirawe Bongkange dan Raja Gowa Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Lihat. Andaya, 1981.

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kelahiran Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep

Tallu Cappa’

SALAH Satu hal yang menarik untuk menjadi bahan renungan atau bahan pelajaran dari cara Tu-Riolo Bugis Makassar dalam mengendalikan kekuasaan politik dan jaringan perniagaannya adalah kebiasaannya menempatkan seseorang dalam posisi jabatan atau kepercayaan tertentu berdasarkan penilaian Tallu Cappa atau Tiga Ujung. Tallu Cappa yang penulis maksudkan disini ialah Cappa Lila (Ujung Lidah atau kecerdasan), Cappa Badik (Ujung Badik atau keberanian), dan Cappa Laso (Ujung Kemaluan atau perkawinan).
Berdasarkan penilaian Tallu Cappa tersebut, Orang Bugis Makassar mengharapkan kesuksesan yang besar dalam perniagaan atau kuatnya dominasi politik dalam dinasti kekuasaan yang dapat bertahan lama. Para saudagar dan punggawa yang berhasil membangun jaringan bisnisnya tidak akan menurunkannya kepada seseorang yang tidak memenuhi kriteria Tallu Cappa tersebut diatas. Jaringan perniagaan dan kekayaan hanyalah dapat diturunkan kepada seseorang yang cerdas, berani dan orang tersebut haruslah keluarga terdekatnya. Bisa diturunkan atau ditularkan kepada saudara, ipar, anak, menantu, cucu, yang memenuhi kriteria Tallu Cappa itu. Begitu pula yang berlaku terhadap pewarisan kekuasaan politik Bugis Makassar yang menganut sistem monarki (kerajaan).
Pengertian Cappa Lila (kecerdasan) menurut pemahaman tu-riolo tentu saja tidak diukur dari tinggi rendahnya sekolah yang pernah dijalaninya. Karena, praktis sekolah sebagaimana yang ada sekarang belumlah ada pada waktu itu. Menurut mereka, “Riasengnge’ Macca Eppa’i : Naitai Riyolona Gau’E Najeppuiwi munrinna, Mappasitinajai ada Mappasiratang wenru’, Saroi Mase’ Risilasanae’ Pakkutanai Alena, Poadai ada Matojo EnrengngE ada Malemma.” (Yang disebut cerdas ada empat : Menyelami latar belakang persoalan dan mengetahui benar akibatnya, Melayakkan kata dan memantaskan sesuatu, Merendahkan diri selayaknya selaras dengan harga dirinya, serta dapat mengucapkan kata tegas dan lemah lembut).
Begitu pula keberanian yang tidak selalu mereka pahami sebagai keberanian dalam menggunakan badik atau keterampilan membunuh. Bagi mereka keberanian itu laksana permata yang harus dimiliki. Keberanian dalam arti ada kemampuan membela, menjaga, atau mempertahankan harga diri dan martabat keluarga. Keberanian dalam arti dapat memelihara siri’-nya. Keberanian dalam arti jujur, mampu dengan tegas menyatakan suatu yang benar sebagai kebenaran dan menunjukkan bahwa yang salah itu memang salah. “Eppa Uwangenna Paramata Mattappa : Seuwani, LempuE Maduanna, TongengngE sibawa Tette-E Matellunna, SiriE sibawa Getteng Maeppa’na, AkkalengngE sibawa Nyamengkininnawa (Ada Empat macamnya permata yang bersinar : Pertama, Kejujuran. Kedua, Kebenaran yang disertai ketetapan. Ketiga, Harga Diri (malu) yang disertai teguh pendirian. Keempat, Akal pikiran beserta baik hati (peramah)”.
Bagi orang Bugis Makassar, kecerdasan dan keberanian merupakan modal utama yang harus dimiliki dalam melakukan kebaikan. Tidak ada kebaikan kalau seseorang itu tidak cerdas. Tidak ada kebaikan kalau seseorang itu tidak berani. Kebaikan hanya dapat dilakukan oleh orang yang cerdas dan berani. Hal inilah yang dipahami tu-riolo sebagai kebaikan, “Naiya riyasengnge Madeceng : Malempu’ gau’i, Tekkacinna-cinnai rianutessi tinajaE, Teppuadai Belle-belle Ritimunna, Sabbara’i Ripadanna tau, Metau’i ri DewataE. Yang dimaksud dengan Kebaikan : Jujur dalam perbuatan, Tak berminat pada yang patut, Tidak mengatakan dusta, Sabar terhadap sesamanya manusia, Takut kepada Tuhan.
Dengan pemahaman seperti tersebut diatas, akan semakin jelas bahwa tu-riolo Bugis Makassar menilai kecerdasan tidak semata – mata dari kepiawaian berbicara tapi lebih kepada kandungan makna dari yang terucapkan dan kemampuan memposisikan diri yang baik di tengah masyarakat. Sementara keberanian tidak selalu berarti kejantanan (maskulinitas) dalam arti kesombongan fisik dan bicara, unjuk gigi, kemampuan berbuat salah, menganiaya atau mendzalimi orang lain, dan lain semacamnya. Sehingga ada pesan tu-riolo yang mengatakan, “Tangnga’i Gau’mu naiya Anre’ Guru. Mualai MadecengngE’ Mutetangngi majaE’. Apa’ iya AdaE’ Sionrongmui ja’na sibawa decenna’, Makkuwamutoi Nawa-nawaE’. Amatilah perbuatanmu dan kau jadikanlah guru. Petiklah yang baik dan kau tinggalkan yang buruk, sebab bicara itu tempatnya keburukan dan kebaikan, demikian pula pikiran”.
Sementara Cappa Laso atau Cappa Buto disini dimaknai sebagai perkawinan. Kekuasaan atau kekayaan itu dalam perspektif tu-riolo Bugis Makassar dapat diperoleh, diperluas dan diperbanyak dengan adanya perkawinan. Itu pula sebabnya dulu, banyak yang mengungkapkan bahwa banyak kali kawin, banyak kali harta, makin banyak anak makin banyak harta. Makna lain dari Cappa Laso (perkawinan) disini ialah nepotisme. Sehingga ada keterkaitan bahwa secara tidak langsung tu-riolo Bugis Makassar beranggapan bahwa tidak boleh kekuasaan atau kekayaan itu keluar dari lingkungan keluarga atau kekerabatan. Kerajaan Bisnis harus dibangun atau terbangun dalam lingkaran kekerabatan. Begitu pula kekuasaan politik.
Menurut Anwar Ibrahim, Dosen Fakultas Sastra UNHAS, pernah mensinyalir bahwa orang Bugis yang berhasil dalam bisnis dan politik dari daerah sampai pusat yang menggunakan filosofi Tallu Cappa dalam setiap keputusan politik dan bisnisnya adalah Yusuf Kalla, Wakil Presiden RI saat ini. Siapa yang dapat membantah hubungan kekerabatannya dengan Aksa Mahmud. Siapa yang dapat menyangkal komisaris, direktur utama, ataupun posisi top manager lainnya yang ditempatkannya pada semua perusahaan keluarga yang tergabung dalam Kalla Group, sehingga ada guyon yang mengatakan bahwa kalau anda ingin sukses se-sukses Yusuf Kalla mulailah belajar menyelami filosopi Tallu Cappa tersebut. Kayaknya hal ini pula yang mengilhami sebagian birokrat yang menjadi ”raja-raja” kecil di daerah setelah pemberlakuan otonomi daerah, serta bagi – bagi proyek yang tidak boleh keluar dari lingkaran kekerabatan. Jadi, siapa bilang orang Bugis Makassar tidak kenal yang namanya nepotisme. (rid)

Berkebudayaan Malu (Shame Culture)

Keberhasilan Negara Korea Selatan merupakan satu bukti nyata bahwa rasa “malu dan dendam” dapat dijadikan motivasi kemajuan. Pemerintah dan Masyarakat Korsel berhasil mengeksplorasi rasa malu dan dendam menjadi sebuah motivasi untuk mengungguli negara dan bangsa lain, termasuk negara yang selama puluhan tahun pernah menjajahnya. Tulisan ini pada akhirnya ingin mempertanyakan, “Mengapa rasa “siri” dan “pacce” tidak bisa kita jadikan motivasi, spirit atau energi untuk melakukan kerja keras, perubahan positif, percepatan pembangunan dan lompatan kemajuan ? Padahal kita semua tahu, “siri na pacce” merupakan bagian dari kebudayaan kita.
Korea merupakan negara yang pernah dijajah Bangsa Jepang sejak akhir Abad XVI. Selama enam tahun tentara Jepang dengan dipimpin Hideyoshi Toyotomi, untuk pertama kalinya menjajah Korea, yang ketika itu masih berupa Kerajaan Joseon Lama. Namun, penjajahan selama enam tahun itu belumlah menabur dendam bagi Korea, karena ketika itu Korea praktis belum terbentuk. Penjajahan Jepang yang menyakitkan bagi Korea adalah penjajahan yang terbentang antara tahun 1910 – 1945. Ketika itu, Jepang kembali ingin menunjukkan dominasinya dalam hal aneksasi, sekaligus eksploitasi ekonomi.
Bangsa Korea harus tunduk pada Kaisar Jepang. Menggunakan bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari, termasuk merupakan larangan keras. Sekolah-sekolah diwajibkan menggunakan Bahasa Jepang, dan orang Korea harus mengadopsi nama Jepang. Invasi Jepang selama 35 tahun di Semenanjung Korea itu mengakibatkan kehancuran dan porak poranda yang luar biasa, di segenap aspek kehidupan Bangsa Korea. Standar hidup Bangsa Korea menurun drastis. Tidak ada angka resmi berapa ribu korban jiwa yang jatuh dipihak Korea, tetapi disebut-sebut selama 35 tahun penjajahan itu, lebih dari 100.000 perempuan Korea dipaksa melayani nafsu seksual tentara Jepang.
Selain kehancuran sosial, ekonomi dan fisik, invasi Jepang itu juga mengakibatkan perebutan kepemimpinan antar Bangsa Korea sendiri setelah hengkangnya Jepang dari “Daratan Pagi yang Tenang” itu. Koreapun terbagi menjadi dua, Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel). Selama tiga tahun, antara tahun 1950 – 1953, Korut dan Korsel terlibat perang saudara memperebutkan kepemimpinan. Barulah selepas tahun 1953, Korsel bisa mulai membenahi puing – puing perekonomian, pendidikan, sosial serta aspek-aspek lainnya, serta bangkit sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan.
Berlalunya tahun – tahun itu, tidak sedikitpun mengikis dendam Korea Selatan terhadap Jepang, walaupun secara diplomatis kedua negara mencanangkan berbagai perjanjian dan kerjasama. Dendam yang besar itu menjadi energi luar biasa bagi Korsel untuk menyaingi Jepang yang pernah menjajah dan mendzaliminya. Kini setelah lebih dari setengah abad merdeka, Korsel mulai memetik buah dari jerih payahnya membangun kembali bangsa yang pernah diporak-porandakan penjajah. Hasil paling nyata dapat dilihat pada industri manufaktur yang berbasis teknologi.
Pada dekade tahun 1960 dan 1970, Korsel hanya dapat meniru produk-produk Jepang. Pada tahun 1972 Pemerintah Korsel melancarkan gerakan “Sae Maul Undong” sebagai upaya menggenjot percepatan pembangunan dan kemajuan Korea. Gerakan mobilitas nilai budaya untuk kemajuan yang disebut “Sae Maul Undong” (sae = desa, maul = baru, Undong = gerakan) yang dilancarkan para pemimpin yang mengutamakan ‘learning by doing’, yaitu langsung bekerja ditengah-tengah rakyat dan memberi contoh hidup sederhana dan disiplin. Pemerintahnya menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kekayaan alam yang bisa diandalkan, penduduknya padat, wilayahnya bergunung – gunung, musim dingin yang panjang, serta cuaca buruk.
Pembangunannya berhasilnya merubah desa menjadi kota, berhasil merubah kegiatan pertanian yang seadanya menjadi raksasa industri yang patut diperhitungkan. Hanya dalam waktu satu dekade, Korsel sudah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Revolusi mental dan sikap untuk maju itu telah menunjukkan bukti nyata menjadikan Korsel sebagai salah satu raksasa negara industri di Asia. Dimulai pada era tahun 1980-an, Korsel mulai memfokuskan diri pada penelitian dan pengembangan (research and development). Pada tahun 1982 dicapailah hasil gemilang. Dalam waktu selama 10 tahun pendapatan perkapita rakyat melejit dari US $ 82 naik menjadi US $ 2.000,- yang 4 tahun kemudian mencapai lebih dari US $ 5.000,- (T.Hutagalung Simanungkalit, 1983). Bisa dibayangkan, berapa besar pendapatan perkapita rakyat Korsel saat ini. Diliputi dendam besar yang memanivestasi menjadi motivasi, masyarakat Korsel rata-rata menjalani 10 jam kerja setiap hari kerja, dari pukul 8.00 hingga pukul 18.00. Selanjutnya, mulai era tahun 1990-an Korsel mulai menjadi ancaman serius bagi industri Jepang.
Pesatnya kemajuan industri Korea tidak lepas dari sikap mental masyarakat Korsel dalam bekerja yang mengacu kepada tiga tujuan. Tujuan pertama, mereka bekerja untuk bangsa dan negara. Tujuan kedua, mereka bekerja untuk perusahaan yang menggaji mereka. Tujuan ketiga, setelah tujuan pertama dan kedua terpenuhi, barulah mereka bekerja untuk diri mereka sendiri. Mereka merasa malu jika sebagai warga negara belum memberikan sumbangsih dan kontribusi positif bagi kemajuan negaranya. Sebaliknya kita di Indonesia, justru yang menamakan dirinya abdi negara dan abdi masyarakat, yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi dengan praktek KKN yang merajalela. Masyarakat yang berharap dapat diperjuangkan oleh Anggota DPR yang telah dipilihnya, malahan “sibuk dengan gayanya sendiri”.
Nasionalisme orang Korea memang amat tinggi. Semua orang di Negara “Daratan Pagi Yang Tenang” itu memakai produk dalam negeri, dari makanan, sepatu, produk-produk elektronik, hingga produk-produk otomotif. Tidak ada paksaan dari pemerintah, tetapi kalau tidak memakai produk Korea, mereka akan malu sendiri. Restoran Mc Donalds terseok-seok bersaing dengan restoran lokal, Lotteria. Empat pemuda tampan asal Taiwan yang tergabung dalam kelompok F4, sama sekali tidak dikenal disana. Yang nama dan gambarnya ada dimana-mana adalah artis remaja Wun Bin. Di Indonesia, justru menjadi bangga jika sudah memakai produk-produk luar negeri. Remaja-remaja kita justru merasa hebat jika sudah dapat menyanyikan lagu-lagu barat dan setiap saat bisa gonta-ganti HP (buatan Jepang dan Korea). Jangan heran, karena perilaku itu memang dicontohkan oleh para pemimpin dan wakil rakyat di negeri ini.
Di rumah – rumah orang Korea tidak ada produk elektronik bermerek Sony, Toshiba, Elektrolux, ataupun Philips. Yang ada hanya dua merek, yakni LG dan Samsung. Di jalan-jalan dan subway, tidak ada satupun telepon genggam Nokia yang menggantung di dada anak-anak muda yang doyan menguyah permen karet itu, melainkan berbagai merek lokal. Dari 100 mobil yang anda jumpai di jalan-jalan, belum tentu ada satu mobil merk Toyota atau Honda, atau mobil-mobil Erofah. Yang akan anda lihat, dari bus sampai mobil sport dan sedan mewah, hanyalah melulu merk KIA, Hyundai, Daewoo dan Ssangyong. (Laporan Kompas).
Korea sangat dendam pada Jepang, dan dendam kepada Jepang itulah yang juga menjadi pemicu semangat untuk bisa menyaingi dan melebihi Jepang dalam segala hal. Dilandasi kesadaran tinggi dulunya tidak memiliki produk unggulan berorientasi ekspor, dipicu pula oleh dendam terhadap Jepang yang harus diakui telah mendominasi Asia dalam hal ekonomi dan industri, Korsel bergerak amat dinamis dengan semboyannya “Dynamic Korea”. Bidang industri dianggap sebagai indikator utama keberhasilan Korea menyaingi Jepang. Masyarakat Korsel menyadari, tidak semua industri negara tersebut unggul atas Negara Jepang. Namun, beberapa raksasa industri Korsel sudah membuktikan hal itu.
Korselpun mampu mempermalukan Jepang dalam bidang Olahraga. Sejak tahun 1986, Pada Asian Games X di Seoul hingga saat ini, Korsel sudah berhasil membungkam Jepang. Sejak Asian Games X hingga Asian Games XIII Bangkok 1998, Korsel langganan menempati urutan kedua dalam perolehan medali keseluruhan, sedangkan Jepang selalu berada di urutan ketiga. Sebelumnya, dari Asian Games I New Delhi 1951 sampai Asian Games VIII Bangkok 1978 Jepang selalu menempati urutan teratas dalam perolehan medali. Selanjutnya, mulai Asian Games IX New Delhi 1982 hingga saat ini posisi juara umum diambil oleh China, yang juga punya dendam sejarah berdarah terhadap Jepang. Pada Asian Games IX itu Jepang masih berada di urutan kedua, sebelum tergusur oleh Korsel sejak Asian Games X Seoul 1986 hingga saat ini. (Kompas).
***
Ratusan ribu kilometer di barat daya Semenanjung Korea ada sebuah Negara yang 350 tahun dijajah oleh Belanda dan tiga setengah tahun dijajah oleh Jepang. Negara tersebut mengalami kerusakan akibat penjajahan yang tidak kalah hebat dengan Korea, dan merdeka dua hari saja setelah Korea merdeka. Namun terhadap Negara tersebut, Indonesia tercinta kita ini, mengeksplorasi rasa malu dan dendam menjadi motivasi adalah hal yang amat futuristis.
Malu dalam terminologi Bugis Makassar berarti siri’. Dalam ukuran nilai, siri’ banyak dipahami sebagai “kehormatan atau harga diri”. “Appaenteng siri’ dapat diartikan menegakkan harga diri. Andai saja, masyarakat dan pemerintah dapat mengeksplorasi rasa malu (menegakkan kehormatan dan harga diri) menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang untuk mengejar kemajuan sebagaimana yang telah dicapai oleh negara dan bangsa lain, tak mustahil Indonesia bisa menjadi lebih maju dibandingkan Korsel. Hanya orang yang tidak punya rasa malu, tidak punya harga diri yang dapat melakukan korupsi. Sayangnya, Rezim berganti rezim tidak pernah membawa perubahan kemapanan sosial dan kemandirian ekonomi. Salah satu sebabnya mungkin karena pejabat pemerintahnya terlalu doyan korup dan wakil rakyatnya di parlemen doyan berantem sendiri.
Rasa nasionalisme kita, nanti bangkit kalau wilayah negara diusik dan akan direbut, baru bersorak-sorai menyatakan perang dan ganyang. Sementara, yang terjadi sebenarnya setiap hari kita diserang melalui serbuan kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi, perang pemikiran, sekularisme pendidikan, budaya “westlife” dan industri media, hiburan, seni dan mode (fashion). Masyarakat dan Pemerintah Indonesia seperti lupa bercermin dari Sejarah dan melupakan nilai-nilai luhur budayanya. Kalau Siri’ merupakan taruhan harga diri, maka harga diri tersebut harus diangkat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor, dan senantiasa berorientasi keberhasilan. Harga diri terangkat atas dukungan rasa Pesse (Bugis) atau Pacce (Makassar), yaitu solidaritas terhadap orang lain sebagai partisipasi sosial. (kepedulian sosial/kesetiakawanan sosial). Sayangnya, rakyat dan pemerintah Indonesia hanya bisa melaksanakannya hanya sebatas jargon dan slogan. Mari membenahi diri untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Kalau kita tidak bisa menjadi lebih baik dibandingkan hari kemarin, maka tidak hanya bisa menjadi “malu”, tapi bisa menjadi malu-maluin. Tabe’. Mariki di ’ .