Sabtu, 16 Mei 2009

Kisah Sawerigading - Cerita Rakyat Sulawesi Selatan

Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading
berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas
(lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung.
Jadi, Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di
atas bambu betung. Menurut cerita, ketika Bataraguru (kakek
Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan
ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai
saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak
kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga
mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik
kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk
melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara
kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Sawerigading berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja
bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara
Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan
manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan
satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu
Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki
bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan
We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal
menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara
kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun
membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia
menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng
istana sejak masih bayi.
Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik
jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana
diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk
mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun
sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate
karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu
dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya
karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.
Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat
kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar
yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut.
“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya
Sawerigading dengan kaget.
“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan
dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap
pengawal itu.
Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara
kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi,
Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu
dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang
mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera
memanggil putranya itu untuk menghadap.
“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling
menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui
bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar
dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!”
bujuk Raja Luwu Batara Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat
Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading
mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina
(bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip
dengannya.
“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang
bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai
bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.
“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan
adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan
sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We
Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia
berbersedia menikah dengan Sawerigading.
“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai,
gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya,
aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng.
Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina,
walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak
diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina,
Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan
ombak besar di tengah laut.
“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai,
besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé
raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’.
Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud
ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang
pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya
telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal
itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading
kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian
aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun
mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya.
Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng
secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya
sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu
yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu
menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak
kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu
layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku
membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk
menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,”
pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan,
berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina.
Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan
seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama
pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat
sampai di tujuan.
Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We
Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung
kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk
menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai
tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut
mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu
saya meninggal.”
Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang
halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya.
Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro
pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan
We Cudai.
“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang
dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.
Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera
mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh
keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk
mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.
Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang
tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal
Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan
saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan
mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera
kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai.
Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan
pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus
penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian
kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di
istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud
kedatangannya ke Negeri Cina.
“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra
Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang
menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya
Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap
Sawerigading.
“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu
adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.
Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang
dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya
menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke
Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui
keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku.
Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai
anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya
serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya
untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di
samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di
hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba
berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak
lain adalah Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai
tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu
beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya
Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini
dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta
Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin
itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin
yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya.
Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai.
Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng.
“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran
Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga
Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah
dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira
Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu.
Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya
diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya
untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan
memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada
di perahu ke istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian,
pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap
rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan
tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang
anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan
tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya.
Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk
mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan
istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung
halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah
menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena
istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama
beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka
tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi.
Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui
banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di
tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di
Negeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal
di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang
ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya
untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah
pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi
penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama
Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap
di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri
Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas
penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam,
Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri
Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu.
Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi
karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi
penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
* * *
Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran
yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini
ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai
keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat.
(Samsuni/sas/135/04-09)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari H. Abdul Muthalib dan Muhammad Yusran. 2003.
Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan 2. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Sawerigading,”
April 2009.
Ahmad Maulana. “Mengenal Sosok Sawerigading,”
diakses pada tanggal 4 April 2009.
Anonim. “Sawerigading,”
tanggal 4 April 2009.
Christian Pelras. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama
dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian
dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Yusi Avianto Pareanom.

Minggu, 26 April 2009

Pa’kio Bunting

Iring - iringan pengantar pengantin laki-laki menuju rumah kediaman pengantin perempuan (foto : santri immim, dok. dra.nurhudayah).

Ia dende – ia dende , nia tojemminjo mae ;
bunting salloa kutayang , salloa kuminasai ;
bura’ne bura’nena buranea ;
nampako ri ujung borikku, ri cappa pa’rasanganku ;
naku ruppaiko cinik, kutimbarangkiko pangngai.

Nampako kuasseng niak, na kuitungko labattu ;
kuurangi memang, berasa ri mangkok kebok ;
kummata memang, rappo bauk ri pallakku ;
kunnanro memang, kelomping ri talang bulaeng ;
ku itungko intang, kubelo – belo jamarrok.

Intang macora, nasingarri dallekannu ;
bulaeng tino’ angsuloi pacciniknu ;
lakukapeangko anne, sumangaknu mabellaya ;
lakukiokangko pole, tubunu ‘lampa salaya ;
Kutannangkonne, tope talakkak ri ayak.

Lakkak tope tamalakakko ikau ;
sangkontu sanrapammamako bulang sampuloa ngappak ;
nasusung pale, natinriang wari-wari ;
wari-wari kapappasang, pale mannuntunga bangngi ;
nisaelenu kau tamallakjunu nicinik makmole-mole.

Kukiok daengjakonjo, kukanro anak karaeng ;
nutuli manaikmo mae ri balakna matoannu, ritukakna iparaknu,
matoang tuna, iparak kamase-mase ;
mangongjotongmakonne tukak tallu angronna, patampulo baringanna ;
manjappatongko pole, coccorang nitakbu-takbu.
Nutulik manai, mannyorang pakkekbu nigiring-giring ;

Mangongjotongko daserek nijaling kawak, nialanro bassikalling ;
mattetetongko pallangga ri batang rappo ;
mannosok tongko padongko nitau-tau ;
nutilimo kalawuk rawanganna timbaonu, ammempo ri
benteng polonnu.

Aklaparak tapperek bodong, anjokjok kairi kanang ;
mansuro-suro rapannu, mampattuju sangkammannu ;
naremba-rembako pole, anak rara patampulo ;
nisarimanangko pole, lonrong beru makbakak ;
benteng polong kansako, kanako benteng pakkaik-kaik topena
pasikaiki bajunna.

Naik manaung tunibarang baranginnu, assuluk antama ata makballak-ballaknu ;
numakjarang, numattedong, numakjangang rassi lerang ;
nakutumbangangi pole palampang ase berunu ;
nakatepokangi padongkok ase toanu ;
tamanraikko ri ambong nukoasa.

Takalaukko ri Jawa, nakulumannyang, tamakbotorokko numammeta ;
assare-sarengko sallang, ri matoang kasiasi ;
appiturummako pole, ri iparak kamase-mase ;
naik tuannu, saklak dasere dalleknu ;
kuminasaijakonjo sunggu, kutinjakiko matekne.

Nusunggu tojeng, numaktene tojeng todong ;
lakbu bannang ri jawa, malakbuang umurunu ;
luarak tamparang, luarangang nawa-nawanu ;
tinggi Bawakaraeng, matinggiampa tuannu ;
lekbak gentung tinbaonu, lekbak tantang pakkallikku.

Timbao nikida-kida pakallil niurak tallu ;
lekbak basami barkraknu, lekbak gusuk langiriknu ;
tattanngi pole, capparu pakminyakannu ;
nutulimo ‘antama ri bilik kamua liku, kamua kalangang rapak ;
mannosok badang, mannimbak bangkeng paciko.

Nukana-kanami sallang saraka ri pamminangang ;
tappauk-paukmi pole bunga-bunga ri gatingroannu ;
nusipoke-poke genre, nusitakbak rappo toa ;
nusipattoa-toai , nusipakloa-loai, nusipacammo-cammoi
sitanro takkang, sibuccuk pakdengka-dengka.

Lino-linopi anging, pakkeke mappasisaklak ;
numammanak-manak sarre, numakborong unti jawa
pinruang tuju, pintallung tassalapangi ;
manaikngasemmi mae angrong guru ningainu, gallarang nipanggalikinnu,
kapala nipaemponu.

Battungasemmi pole, bija pammanakannu, bella-bella ‘mbani-bani,
cakdi-cakdi, lompo-lompo, anak-anak tau –toa ;
nipanaikmako ri pangka-pangka bulaeng ;
niupaempomako ri tapperek paramadani ;
bajik nangai Nabbi, napaujia Allah Ta’ala.

Sipokok bukne tantanna jeknek matannu ;
sipokok camba pammattikna iloroknu ;
kupattannangangmakonne, anggorok ri gantironu ;
kupaklumangangko pole, lemo tanning ro dolangang ;
nakacinnai somba, napammattikang irolok bate salapang.

Bunting nilekkako paleng tunipalele bellokang ;
Nierang ri bori maraeng, pakrasangang nampa nuonjok, bori nampa nulakbaki ;
nukamma todong jonga, mattoa ri sampak manngayangang tunumalo.
- Nakana kelonna Daeng bunting Bura’nea :
nampa a’lampa ri balla’ku, naku joli pakkebukku, naku gulung tapperekku
naku a’nia ri lalang pa’mai, barang nasarea sikalabine, dalle Karaeng Allah Ta’ala
ku lingka lammatang puli, ri borong-borong pa’daserang, dalle nipajului battu ri Allah Ta’ala.
- Nakana kelonna Daeng Bunting Bainea :
takunjungak sallo lolo, karunrung balu baine, tammamoneak, tope taerokna tau toaku.
- Nakana pole kelonna daeng bunting bura’nea :
kaddek kucinik Batara, kudupai allo-allo najokjokangku lebanga ri pakmaikku.
- Nakana kelonna Daeng butning bainea :
kaddek naniak erokku, teak sajuk ri sakbea, teak salasa ri baju mocong buloa.
- Nakana pole Daeng buting bura’nea :
nampakko maccula lebong, nakurompong-rompong memang, lompoko naik, kutammbai pakrompongku.
- Nakana kelonna Daeng bunting bainea :
Apa kicinik ri nakke, nakke leleng nake kodi, nakke karokbak, nakke caddi simbolengku
- Nakana pole Daeng bunting bura’nea :
mannu lekleng mannu kodi, mannu caddi simbolennu, tittik matangku, kalakbusang pangngaikku.
- Nakana toseng kelonna Daeng bunting bainea :
Sikatutuikik tope, manna ni sassa ma’ mole-mole. tenamontu parekanna maloloa
manna nupake pangngasengang “lolo pulanaya”
+ Naik ngaseng maki mae.

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep. Penerbit Kantor Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pemkab Pangkep. Copyright (c) 2007. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Janji dan Sumpah Setia Mengangkat Raja

Oleh : M. Farid W Makkulau

DALAM Sejarah Sulawesi Selatan, janji dan Sumpah setia rakyat yang diwakili oleh pemimpin – pemimpin kampung atau kelompok kaum dengan To-manurung / ManurungE dianggap sebagai peletak dasar ”yang demokratis” berdirinya kerajaan – kerajaan di wilayah ini. Hampir semua penulis sejarah sepakat, baik sejarawan lokal maupun sejarawan Barat, mengenai perkembangan situasi daerah yang seragam---masa kekacauan, krisis pangan dan perang saudara yang dikenal sebagai ”sianre balei taue’---sebelum masa kemunculan To-manurung / ManurungE.
Diriwayatkan kondisi Tanah Gowa pada masa sebelum hadirnya Tumanurunga, senantiasa dilanda perang saudara antara Gowa bagian utara dan Gowa bagian selatan seberang Sungai Jeneberang. Ketika itu Paccalayya sebagai ketua federasi diantara sembilan Kasuwiang tidak dapat mengatasi peperangan tersebut. Hal ini disebabkan karena Paccalayya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat pada anggota persekutuan yang masing – masing mempunyai hak otonom. Oleh karena perang saudara terus terjadi, maka diperlukanlah seorang pemimpin yang berwibawa untuk mengatasinya.
Hal yang sama terjadi pula di Tanah Bone, Kronik Bone memulai cerita kerajaannya tepat diakhir cerita I La Galigo yang menjelaskan masa sebelum datangnya To-manurung (orang yang turun dari langit/kayangan) sebagai masa kekacauan dan perang saudara yang berlangsung selama tujuh generasi. Nanti setelah To-manurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan. Ditetapkannya penguasa Tu-manurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Aruppitu (Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas.
Cerita yang sama, berkembang pula di Tanah Soppeng, Semula daerah ini dipimpin oleh 60 Matowa (Dewan Adat), yang dipimpin Arung Bila. Namun selama tujuh tahun lamanya masyarakat Soppeng dilanda krisis pangan akibat kemarau panjang dan masa kekacauan yang seakan tiada hentinya. Saat terjadinya krisis tersebut maka muncullah seorang Tomanurung di Sekkanyili’ bernama Latemmamala (ManurungE’ ri Sekkanyili’) yang kemudian hari diangkat sebagai Datu Pertama Soppeng, berdasarkan kesepakatan ”kontrak politik” antara Para Matowa (sebagai refresentasi rakyat) dengan To-ManurungE (sebagai refresentasi Tuhan diatas muka bumi ini).

Pengangkatan Tu-manurunga ri Tamalate, Somba Pertama Gowa

Diriwayatkan bahwa pada masa sebelum hadir Tumanurunga ri Butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan – kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (bobdgenoot) atau pemerintahan gabungan (federasi) dibawah pengawasan Paccallaya (ketua Dewan hadat Pemisah). Kesembilan Kasuwiang (mungkin juga lebih jumlahnya), disebut juga Kasuwiang Salapanga atau sembilan kelompok kaum yang mewakili masing – masing dalam persekutuan itu ialah Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samatta, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero.
Diriwayatkan suatu saat terdengarlah berita oleh Paccallaya bahwa ada seorang puteri yang turun diatas bukit Tamalate tepatnya di Takabassia. Dalam saat penantian, tersebutlah bahwa orang – orang yang berada di Bontobiraeng melihat sesuatu di sebelah utara seberkas cahaya diatas bergerak perlahan – lahan turun ke bawah, ternyata menuju Takabassia, tepatnya persis diatas sebuah bongkahan batu perbukitan.
Kejadian ini dengan cepat diketahui Gallarang Mangasa dan Tombolok yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum dalam persekutuan Butta Gowa. Paccalayya bersama keembilan Kasuwiang Salapanga bergegas ke Takabassia. Mereka duduk mengelilingi cahaya tersebut sambil bertafakkur dan serta merta dari cahaya tersebut menjelma wujud manusia, seorang wanita cantik menakjubkan dengan memakai pakaian kebesaran yang mengagumkan. Kasuwiang salapanga dan Paccallaya tak mengetahui nama dari puiteri ratu tersebut sehingga diberinya nama orang (wanita) yang menjelma yang turun dari atas dan tidak diketahui asal usulnya.
Paccallaya dan Kasuwiang Salapanga kemudian bersepakat menjadikan Tumanurunga sebagai rajanya dan memberitahukan kejadian penting ini pada orang – orang yang berperang agar menghentikan pertempuran. Sebagai wakil seluruh kaum yang berkumpul di tempat itu,. Paccalayya kemudian mendekati Tumanurunga dan bersembah ”Sombangku !” (Tuangku !) Kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya Sombangku sudi menetap di negeri kami dan Sombangkulah yang merajai kami.
Permohonan Paccalayya pun dikabulkan oleh Tumanurunga, kemudian Paccallaya bangkit dan berseru kepada porang banyak yang hadir di tempat itu. ”Sombai Karaengnu tu Gowa !” ). Sembahlah rajamu hai orang Gowa !, maka gemuruhlah suara orang banyak ”Sombangku”[1]. Mungkin sejak itulah bermula nama Gowa dipergunakan secara resmi sebagai sebutan bagi rakyat dan kerajaan Gowa.

Janji dan Sumpah Setia Pengangkatan Datu Soppeng Pertama

Soppeng pada zaman dahulu, merupakan suatu kerajaan yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1300. Semula kerajaan ini terdiri dari 60 Matowa (Dewan Adat), yang dipimpin Arung Bila. Namun selama tujuh tahun lamanya masyarakat Soppeng dilanda krisis pangan akibat kemarau panjang. Saat terjadinya krisis tersebut maka muncullah seorang Tomanurung di Sekkanyili’ bernama Latemmamala. Berdasarkan hasil musyawarah antara ke – 60 Matowa dengan To-manurung, maka mereka bermufakat untuk mengangkat Latemmalala ManurungE’ ri Sekkanyili’ sebagai Raja (Datu) Pertama Soppeng.
Kedatangan To-manurung di Soppeng dapat dibaca dalam kutipan Lontara berikut :
“Ianae sure’ poada-adaenngi tanaE ri Soppeng. Nawelainna Sewo, Gattaraeng. No’ni mabbanua tauwe ri Soppeng naia TosewoE iana riaseng to-Soppeng riaja. Ia togattarengE iana poaseng Soppeng riLau. Agana enneppulona matoa Soppeng ri Lau Soppeng ri Aja. Nae napadduwani alena To-SoppengngE . . . . . Nade’na Puwanna. Naiamani matowaE ennennge-pulona paoto’ palewui tanaE. Namanurunna petta ri Sekkanyili’. Napaissenna matoa Tinco. Jennang Pesse. Angkanna matoa padduisenngE To Soppeng Riaja. Napoadanni matoa Ujung. Matoa Botto. Matoa Bila. Makkaedae engkaro Manurung ri Sekkanyili. Nae makkedai matoa Biila. Matoa Botto. Matoa Ujung. Madecenngi tapaissengi padduisenna Soppeng Rilau. Matoa Salotungo. Nakadoi padduiseng riaja. Nassiturusini suroE tampaiwi. Puraikkua engkani matoa padduiseng rilauE. Makkedae matowa Soppeng Riaja. Engka To-manurung ri Sekkanyili’. Napokku are’ sosso tanngamu. Makkedai matoa Soppeng Rilau. Madecenngi lao takkarenngi ale. Sarekumamaseammi puwanngE. Naia ‘dongiri’ temmatipa’I Mpawai rim awe rimabela. Namauna pattarommeng nateaiwi. Tateai toi. Puraikuwa. Lokkani matowaE ennennge-pulona. Makkedani matowa Ujung. Matoa Bila. Matoa Botto. Ia kiengkang maie lamarupeE maelokkeng muamaseang. Aja’na muallajang. Naikona kipopuang.
Mudongiri temmatipa’keng. Musalipuri temmadingikkeng. Naikona puwakkeng rim awe rimabelaE. Namauna pattarommeng. Muteaiwi kiteai mutonisa. Mekkedani petta manurungngE ri Sekkanyili’. Temmubaleccoreppa’. Temna. Petta ManurungngE ri Sekkanyili’. Makkedatopi petnang. Engkatotu sapposisekku manurung ri Libureng. Madecengi muliburingale iko to SoppengngE. Kudua sapparekko deceng mennang. Naia datu soppeng rilau Naia Datu Soppeng Riaja. Mupasituru tanngamu lao mualai. Purai ‘kua lokkani matoaE ennengE-pulona. Lattu ri Libureng kuwa riasennge ri GowariE. Napoleini To-manurungngE tudang ri balubu na’depparie. Makkedani Matoa Ujung. Matoa Bila. Matoa Botto. Lanamai kiengkang lamarupe’E maelokkeng muamaseang. Aja’na muallajang. Na-iko kipopuang. Mudongiri temmatipa’keng. Musalipuri temmadingikkeng. Muwessei tammakapakkeng. Naiko puwakkeng rim awe ri mabelaE. Namau nanammeng napattarommeng muteaiwi. Kiteai matonisia”.
Makkedai manurungngE ri GowariE. Temmu baleccoreppa’. Temmuadduan-nawa-nawapa’ Sikadonni adaewe. Ianaro riaseng akkulua-dangenna To-SoppengngE napuppunna lattu ri torimunrinna DatuE ri Soppeng nato ri munrinna to SoppengngE. Makkoniro ammulanna madua Datu ri Soppeng. (Lontara Soppeng, Salinan A Pategai 4-1-23 Hal. 152 – 153).

Artinya (terjemahan bebas) :

Inilah kitab yang menceritakan tentang Tana Soppeng ketika penduduk meninggalkan Sewo dan Gattaeng. Syahdan, maka turunlah penduduk untuk bermukim di Soppeng. Adapun orang – orang yang datang dari Sewo disebut orang Soppeng Riaja, sedangkan mereka yang dating dari Gattareng disebut orang Soppeng Rilau. Demikian terbagi dualah orang Soppeng pada waktu itu, tanpa ada raja sebagai penguasa. Hanya terdapat sebanyak enam puluh ketua/kepala untuk kedua wilayah daerah Soppeng (Riaja dan Rilau) tersebut. Para ketua itulah yang mengayomi negeri Soppeng sampai datangnya paduka Petta ManurungngE ri Sekkanyili’.
Ketika Matoa Tinco, jennang Pesse serta segenap matoa – matoa wilayah persekutuan Soppeng Riaja mengetahui perihal datangnya seorang Tomanurung di daerah ri Sekkanyili’ segera disampaikannya hal tersebut kepada Matoa Ujung, Matoa Botto dan Matoa Bila, bahwa ada Tomanurung di Sekkanyili’.
Berkatalah Matoa Bila, Matoa Ujung dan Matoa Botto : Sebaiknya hal itu diberitahukan pula kepada Ketua Persekutuan Soppeng Rilau, yaitu Matoa Salotungo (perkataan ./ saran ketiga matoa tersebut) ternyata diiyakan oleh pada Ketua Persekutuan Soppeng Riaja, maka disepakatilah untuk mengundang mereka (Ketua – ketua daerah persekutuan Soppeng Rilau). Setelah itu pada datanglah ketua – ketua persekutuan Soppeng Rilau lalu berkatalah para ketua Soppeng Riaja : Sebaiknya kita (para ketua – ketua persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau) berdatang sembah. Semoga niat kita dirahmatinya. Kiranya beliaulah yang berkenan memimpin dan mengayomi kita sekalian dalam segala hjal (dekat maupun jauh). Kendatipun ada putusan kita, tetapi tidak disukainya, maka kita pun akan tidak menyukainya.
Setelah itu pergilah keenam puluh ketua tadi menemui TomanurungngE. Berkatalah Matoa Ujung, Matoa Bila dan Matoa Botto : Bahwasanya kedatangan kami sekalian ini, tidak lain adalah untuk memohonkan rahmatmu. Janganlah hendak-nya Paduka kembali gaib / menghilang (ke kayangan) dan padukalah hendaknya yang menjadi raja kami, maka pimpinlah / bimbinglah kami kepada keselamatan dan kesejahteraan, ayomilah kami semua dalam menghadapi setiap masalah. Padukalah raja (yang berkuasa) atas diri kami dalam segala hal. Kalaupun ada putusan / pendapat kami, namun paduka tidak berkenan menyetujuinya, maka kami pun tidak akan mempertahankannya lagi.
Berkatalah Paduyka TomanurungngE ri Sekkanyili’ : Hanya apabila engkau semua tidak mengkhianati diriku, hanya apabila engkau semua tidak mengsyerikatkan aku. Syahdan maka bersepakatlah antara Paduka yang mulia TomanurungngE ri Sekkanyili’ dengan keenampuluh matoa.
Berkata pula Paduka TomanurungngE, kusampaikan pula kepadamu sekjalian : Ada pula saudara misanku / sepupu sekali yang turun / manurung di Libureng. Lebih baik engkau bermufakat bersatu pendapat, agar kamiu berdualah yang mencarikan jalan kebaikan untukmu semua. Dialah (ManurungngE ri Libureng sebagai Raja/Datu Soppeng Rilau dan aku Datu di Soppeng Riaja). Bersepakatlah engkau semua dan jemputlah ia.
Setelah itu berangkatlah keenam puluh matowa tadi, untuk menemui / menjemput TomanurungngE ri Libureng, di suatu tempat yang dinamakan GoawiE. Syahdan, maka diketemukanlah sang Tomanurung (manurungngE ri GoariE/Libureng) sedang duduk diatas gucinya. Berkatalah Matoa Ujung, Matoa Bila dan Matoa Botto : bahwasanya kedatngan kami semua kemari ini, adalah untuk semata – mata memohonkan rahmatmu. Janganlah hendaknya paduka kembali ghaib (menghilang ke kayangan) agar padukalah yang dipertuan, untuk memimpin kami kepada jalan keselamatan dan kesejahteraan, mengayomi / melindungi kami semua dari segala marabahaya, mempersatukan kami secara ketat dan penuh berkah. Engkaulah raja, penguasa kami dalam segala hal. Kalaupun ada anak keturunan kami, putusan kami yang engkau tidak sukai/kehendaki maka kami pun rela untuk tidak menyukainya.
Berucap ManurungngE ri GoariE : bahwasanya apabila engkau semua tidak khianat, hanya saja kalau engkau semua tidak menyerikatkan aku.
Syahdan, disepakatilah ikrar tersebut. Itulah yang dinamakan janji setia antara orang Soppeng, hal mana berkelanjutan secara turun temurun sampai kepada anak keturunan kedua belah pihak. Demikianlah asal muasalnya sehingga ada dua raja/datu di Tana Soppeng”.

Footnote :
[1] Lihat : HD Mangemba, Gowa Mencari hari Jadinya, Makalah Seminar Hari Jadi Gowa, 10 – 11 September 1990.